Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto mengaku belum berencana mengajukan praperadilan atas keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Setya mengatakan dirinya lebih mengutamakan tugas-tugas negara sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ketimbang menyiapkan diri untuk mengajukan praperadilan.
Selain itu, dia juga mengaku lebih memikirkan tugas-tugas sebagai ketua umum Partai Golkar. Terutama dalam menjalankan tujuh poin hasil rapat pleno DPP Partai Golkar 18 Juli lalu.
"Belum. Saya belum memikirkan soal praperadilan," ujar Setnov usai rapat tertutup dengan Dewan Pakar Partai Golkar di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jumat (21/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar, Akbar Tanjung, meminta DPP untuk segera menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) menyikapi status Setnov sebagai tersangka.
Perihal itu, Setnov enggan menanggapi serius. Menurutnya, tugas-tugas harian saat ini sudah diemban oleh ketua harian sesuai hasil rapat pleno.
Dia menyarankan Akbar agar mengajukan sarannya itu kepada Ketua Pelaksana Harian, Nurdin Halid dan Sekretaris Jenderal, Idrus Marham sebagai pelaksana teknis harian.
"Ya itu silakan saja. Itu sudah kami serahkan kepada DPP dan ketua harian untuk melanjuti," katanya.
Golkar Dukung PenuhSementara itu, Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, Agung Laksono menegaskan segenap anggota Dewan Pakar Partai Golkar akan mendukung sepenuhnya jika Setnov ingin mengajukan praperadilan
Meski demikian, Agung menyatakan bahwa sampai saat ini tak ada rencana Setnov untuk mengajukan praperadilan. Setya bahkan disebut belum memutuskan sosok yang akan ditunjuk sebagai kuasa hukumnya.
"Sampai hari ini ketua umum belum tetapkan siapa pengacara resminya," kata Agung.
Setya ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi e-KTP oleh KPK Senin lalu (17/7). Ia diduga melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Nama Novanto juga muncul dalam dakwaan Irman dan Sugiharto. Dia disebut mendapat 11 persen atau Rp574 miliar dari proyek pengadaan e-KTP.