Bacakan Eksepsi, Miryam Sebut Kasusnya Bukan Ranah Tipikor

CNN Indonesia
Senin, 24 Jul 2017 12:46 WIB
Miryam didakwa memberikan keterangan palsu dalam kesaksian kasus korupsi e-KTP. Menurutnya, kasus itu seharusnya diproses peradilan umum, bukan tipikor.
Dalam eksepsinya Senin (24/7), Miryam S. Haryani menyebut kasus yang menjeratnya, seharusnya diproses peradilan umum, bukan tipikor. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)
Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota fraksi Hanura Miryam S Haryani menilai, perkara yang menjeratnya termasuk dalam ranah peradilan umum alih-alih tindak pidana korupsi.

Hal itu diungkapkan Miryam melalui kuasa hukumnya, Heri Andeska, dalam sidang pembacaan eksepsi atau nota keberatan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (14/7).

"Dalam perkara ini penuntut umum tidak memperhatikan kewenangan absolut peradilan tipikor, mestinya perkara ini diserahkan ke peradilan umum," ujar Heri saat membacakan eksepsi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Miryam didakwa dalam kasus memberikan keterangan palsu. Jaksa penuntut umum menyebut Miryam memberikan keterangan tidak benar saat bersaksi bagi Irman dan Sugiharto dalam sidang korupsi e-KTP, 23 Maret lalu, ketika dirinya mencabut seluruh keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Atas kasus tersebut, dalam eksepsinya Miryam menyatakan bahwa pasal 5 dan 6 UU 46/2009 tentang Tipikor mengatur bahwa peradilan tipikor berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tipikor, pencucian uang, perkara yang berasal dari tipikor, dan dinyatakan sebagai perkara tipikor.

Hal lain yang disoroti Miryam adalah fakta bahwa sidang korupsi e-KTP yang menjadi perkara pokok saat itu masih berlangsung dan belum berkekuatan hukum tetap.

"Sehingga jelas bahwa perkara ini bukan kewenangan peradilan tipikor, namun peradilan umum," kata Heru.
Lebih lanjut Heru menuturkan, surat dakwaan jaksa juga dianggap menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan karena menambahkan pasal 64 ayat 1 KUHP untuk menjerat Miryam. Dalam surat dakwaan, Miryam didakwa dengan Pasal 22 juncto Pasal 35 ayat 1 UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Heru mengatakan, pasal 64 ayat 1 KUHP menjelaskan ada perbuatan berlanjut yang dilakukan oleh terdakwa. Sementara pencabutan BAP dinilai sebagai sikap bukan perbuatan berlanjut.

"Surat dakwaan yang menyimpang dari penyidikan harus dinyatakan palsu atau tidak benar," tuturnya.

Jaksa juga dianggap tidak dapat menguraikan perkara secara cermat, jelas, dan lengkap karena tidak mampu membandingkan keterangan yang benar dan tidak benar.
Miryam berharap majelis hakim mengabulkan eksepsi yang diajukan.

Mantan anggota Komisi II DPR ini menuturkan, majelis hakim mestinya mempertimbangkan putusan Irman dan Sugiharto yang menyatakan bahwa alat bukti yang dianggap sah adalah keterangan di persidangan.

"Keterangan saya (mencabut BAP) di persidangan itu diakui hakim. Itu menjadi fakta persidangan baru," ucap Miryam usai persidangan.

Sidang akan dilanjutkan dengan mendengarkan tanggapan jaksa pada 31 Juli mendatang.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER