Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Yudi Latif mengibaratkan sejarah kebangsaan layaknya pohon besar rindang. Pohon sejarah itu tak akan tumbuh subur dengan sendirinya tanpa usaha merawat, memupuk, dan memberinya asupan pencahayaan yang cukup.
Yudi juga menggarisbawahi bahwa perjalanan bangsa Indonesia tidak berjalan mulus dengan sendirinya. Disadari atau tidak, kata dia, masyarakat turut merawat, memupuk, dan mengembangkannya.
"Setiap zaman selalu ada generasi baru, oleh karena itu Pancasila tidak boleh berhenti penyemaiannya," kata Yudi saat ditemui
CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
CNNIndonesia.com kali ini berkesempatan menggali lebih dalam soal upaya pemerintah membumikan kembali Pancasila di masyarakat, termasuk di lingkungan civitas academica.
Generasi muda termasuk mahasiswa menjadi target pembinaan ideologi Pancasila karena mereka merupakan tunas bangsa yang kelak memegang kendali haluan negeri.
Kampus adalah ‘medan tempur’ ragam ideologi para aktivis. Di kampus pula bibit radikalisme dan pemahaman khilafah itu tumbuh. Bagaimana pembinaan ideologi Pancasila bisa mengikis pemahaman radikal yang sudah lebih dulu mengakar di lingkungan kampus?Tumbuhnya benih radikalisme di kampus itu satu indikator bahwa selama ini Pancasila kurang mampu dibumikan dalam dunia pendidikan.
Setiap ideologi itu paling tidak punya tiga elemen.
Pertama, elemen yang menyangkut keyakinan atau kepercayaan; bahwa setiap ideologi harus mengandung seperangkat norma-norma keyakinan yang kemudian jadi landasan normatif negara.
Kedua, setiap ideolgi jika ingin efektif harus memiliki dimensi logos atau pengetahuan. Ideologi itu harus mampu diterjemahkan seperangkat teori pengetahuan, yang dengan itu memberi kita satu cara bepikir, konsep-konsep.
Ketiga, ideologi juga harus memiliki dimensi tindakan, perbuatan, pendirian hidup. Jadi bagaimana cara orang bersikap, menghargai perbedaan. Itu perilaku-perilaku yang konkret.
Kalau sekarang yang berkembang perbuatan-perbuatan yang justru melawan Pancasila, melawan kebinekaan, melawan prinsip-prinsip NKRI, itu artinya pancasila tidak jadi kode perilaku.
Singkat kata, bangkitnya radikalisme atau elemen-elemen ekstremisme di dunia pendidikan itu menunjukkan kelemahan cara Pancasila di-
deliver, dikembangkan di dalam dunia pendidikan. Barangkali karena selama ini metode
delivery-nya tidak menarik bagi anak-anak muda.
 Yudi Latief saat mengikuti prosesi pelantikan penggawa UKP PIP di Istana beberapa waktu lalu. (CNN Indonesia/Christie Stefanie) |
Lingkungan kampus telah melahirkan sejumlah organisasi kemahasiswaan dengan ragam latar semangat pergerakan. Bagaimana unit Pancasila ini bersinergi dengan organisasi kemahasiswaan yang sudah punya sejarah panjang di kampus?Memang ada perbedaan yang agak mencolok antara metode-metode pengkaderan pada organisasi mahasiswa yang lama, generasi-generasi awal seperti HMI, GMNI PMII, dengan metode pembelajaran,
training-training, gerakan-gerakan organisasi mahasiswa baru.
Kalau dulu mau namanya HMI, PMII, mau yang berafiliasi dengan golongan Islam atau kebangsaan, rujukan utamanya di dalam
training itu selalu tokoh-tokoh nasional, selalu figur-figur terpenting dari bangsa ini, apa itu tokoh agamanya, nasionalisnya. Selalu tokoh-tokoh yang hidup dalam bangsa kita.
Karena tokoh-tokoh nasional yang jadi idola, yang pikirannya disebarkan dalam
traning, apapun aliran-aliran gerakan mahasiswanya itu tetap punya semangat ke-Indonesia-an yang kental. Mahasiswa masih meletakkan imajinasinya dalam konteks kebangsaan karena tokoh-tokohnya bagian inheren dari bangsa ini.
Ketika dunia mahasiswa masuk era 1990-an, seiring dengan terbukanya ruang publik di masa akhir orde baru, ada dahaga intelektual yang luar biasa di kalangan anak-anak generasi baru mahasiswa. Mereka mulai ikut kegiatan kelompok-kelompok diskusi,
mentoring-mentoring.
Waktu itu kita lihat ada
booming terhadap permintaan buku-buku agama dan lain-lain. Ketika ekspektasi untuk mencari pengetahuan baru itu muncul, kita dihadapkan pada pasokan-pasokan gagasan dari intelektual Indonesia yang terbatas. Mungkin itu akibat politik kebudayaan kita tidak memberi intensif pada penulis-penulis indonesia untuk mengembangkan diri.
 Presiden Joko Widodo saat memimpin upacara Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri.(CNN Indonesia/Christie Stefanie) |
Produksi buku yang dilahirkan oleh intelektual indonesia pada 1990-an itu sedikit, padahal
demand pada perbukuan meningkat. Ketika itu lah kemudian anak-anak mahasiswa yang tumbuh dari generasi baru itu mencoba melirik pemikiran-pemikiran dari luar negeri untuk memuaskan dahaga intelektualnya. Antara lain pemikiran dari Timur-Tengah, dari Mesir, dari Iran, dan lain lain.
Dari situ lah mulai masuk pengaruh
training-training dari gerakan-gerakan baru. Lambat laun, karena tokoh-tokoh dan pikiran-pikiran yang ditrainingkan itu pikiran-pikiran dari luar negeri, lama-lama imajinasi gerakan mahasiswa ini meletakan imajinasinya di luar indonesia. Idolanya diletakan di luar indonesia.
Artinya perbukuan dunia intelektual memengaruhi proses pembudayaan dan gagasan idoelogi. Sehingga lamban laun kita ini lebih menghargai pemikiran tokoh dari luar, yang juga terhubung dengan gerakan keagamaan tertentu.
Pelan-pelan gerakan keagamaan dari luar itu masuk. Apa yang disebut dengan gerakan transnasional itu masuk karena bibit-bibit pemamah dari gagasan ini mulai tumbuh di kampus-kampus.
HTI belum lama ini dibubarkan karena berorientasi pada Khilafah --yang dianggap pemerintah bertentangan dengan Pancasila. Seperti apa upaya pendekatan unit Pancasila menangkal ideologi yang sudah lama dibumikan oleh HTI di lingkungan kampus?Pancasila sebenarnya ingin melakukan inklusi sosial. Bukan eksklusivisme, tapi inklusivisme. Bagaimana orang beda agama, etnis, beda kelas sosial, beda partai bisa ikut berpartisipasi menjadi bagian dari ke-Indonesia-an.
Tapi yang menarik memang kenapa kampus-kampus umum, yang notabene kampus negara, tapi kenapa kampus-kampus itu jadi sarang eksklusivisme radikalisme. Padahal kampus negara punya jiwa nasionalisme yang kuat dan dulu kampus-kampus ini pusat reproduksi pemimpin-pemimpin bangsa ini.
Arus masuk pikiran-pikrian dari luar ini mendapatkan katalisnya terutama pada mashasiwa-mahasiswa baru.
Jadi mahasiswa baru perguruan tinggi negeri itu datang dari tempat yang berjauhan, kadang banyak yang berlatar pedesaan, datang ke suatu tempat baru, mereka mengalami keterasingan, kadang-kadang juga tebatas sakunya, dihadapkan tantangan baru.
Di situ lah secara manusiawi mereka memerlukan tangan-tangan penolong. Biasanya kelompok yang relatif solid, militan ini yang biasanya mampu menjemput bola, bisa menyapa anak anak baru dengan pendekatan yang manusiawi saja.
Biasanya datang tidak dengan mengkotbahkan agama, tapi atas dasar memenuhi kebutuhan anak itu. dicarikan kos kosannya. Kalau ada sakit diberikan obatnya, kalau ada masalah ditolong. Ikatan sambung rasa ini yang mulai masuk.
Biasanya seniornya mengatakan kalau ada masalah ya sudah datang saja, datang saja ke masjid. Di situ mereka menjadi bagian dari lingkaran kelompok-kelompok ini.
Sudah begitu biasanya pelajaran agama diberikan semester satu, biasanya ada pelajaran tambahan. Dosen-dosen agama itu menganjurkan supaya ikut tutorial atau
mentoring, yang notabene juga di bawah bimbingan seniornya.
 Aktivis mahasiswa Gema Pembebasan berunjuk rasa di kawasan Monas, Jakarta, Rabu, 12 Juli 2017. (CNNIndonesia/Safir Makki) |
Akibatnya sebagai anak baru ikut tutorial apa pun, apa yang diminta seniornya dijalankan. Apalagi seniornya itu memberikan pertolongan pada hidup mereka.
Jadi pusat penyebarannya itu pada proses awal ketika mahasiswa baru itu ikut kuliah. Itu lah periode yang sangat rawan.
Oleh karena itu, saya kira kita harus berusaha mencari cara, penyebabnya kita identifikasi, baru setelah penyebabnya diidentifikasi, kita cari solusinya seperti apa.
Pertama meskipun ini rumah-rumah ibadah, yang sifatnya privat, tapi kan rumah ibadah (di kampus) itu properti negara. Oleh karena itu rektor, pemimpin perguruan tinggi harus bisa tanggung jawab menempatkan pengurus-pengurus masjid yang juga punya tanggung jawab lah. Artinya harus bisa menanamkan nilai-nilai keagamaan yang inklusif, toleran, jangan membiarkan bibit-bibit ekslusifme hadir di rumah rumah peribadatan di kampus itu.
Berikutnya adalah kita juga harus mencari cara supaya anak-anak baru ini lebih bisa mendapat perlindungan, baik perlindungan sosial, ekonomis maupun perlindungan dalam konteks pembelajaran keagaman sehingga dalam situasi yang masih ambigu, masih bingung jatuh ke tangan perangkap kelompok-kelompok radikal.
Saya kira harus ada pendamping-pendamping, harus disiapkan pendampng-pendamping dari dosen progresif untuk ikut menjadi bagian dalam proses pengawalan, bimbingan di masjid-masjid, menyemai juga kelompok belajar di masjd atau rumah ibadah lain yang lebih sesuai dengan semangat kebangsaaan kita.
Apa yang membedakan aktivitas pergerakan mahasiswa di kampus pada rezim terdahulu dengan generasi milineal saat ini, sehingga pembinaan ideologi Pancasila harus masuk ke kampus?Pancasila itu akan bisa tumbuh subur, orang bisa menghargai perbedaan, orang bisa bergaul, mengapresiasi berbagai macam kekayaan budaya itu kalau memiliki daya nalar yang cukup. Kalau daya nalar sempit, seolah-olah hanya dirinya saja sumber kebaikan kebenaran, di luar dirinya tidak ada kebenarn dan kebaikan.
Pancasila juga memerlukan proses sambung rasa selain daya baca. Pancasila memerlukan satu politik kebudayaan yang membuat masyarakat majemuk ini bisa hidup berdampingan secara damai. Jangan masyarakat kita yang plural tapi sifat hidup dikembangkan monokultural.
Dan yang terakhir memang, saya kira menyangkut soal berbagi rezeki ini, jadi eksklusivisme, radikalisme itu juga, pada akhirnya Pancasila sangat menentukan cara kita merespons isu-isu yang menyangkut kesenjangan sosial.
Jadi saya katakan sekali lagi, Pancasila memerlukan syarat peradaban. Syarat peradabannya adalah kecerdasan, minat baca perlu diperluas. Semakin tinggi daya baca, daya jelajah orang bisa menghargai perbedaan makin toleran, makin apresiasi kemajemukan.
Bagaimana mengaplikasikan pembinaan Pancasila ke dalam kurikulum pembelajaran mahasiswa di kampus?Kami sudah berdiskusi dan mencapai kesepemahaman dengan Kemenristekdikti, mulai tahun ini bertepatan dengan penerimaan mahasiswa baru, harus ada satu tanda bahwa kita ini ingin melakukan revitalisasi dan reaktualisasi pembelajaran pancasila secara lebih atraktif, secara lebih tepat guna bagi generasi hari ini.
Berdasarkan Undang-undang No. 12 tentang Pendidikan Tinggi sebenarnya Pancasila itu mata pelajaran wajib bagi perguruan tinggi. Tapi faktanya masih banyak perguruan tinggi yang belum mengakomodasi pelajaran pancasila. Kalaupun pelajaran itu ada, barang kali metode atau konten pembelajarannya tidak begitu menarik atau disusun secara baik.
Nah untuk itu ke depan kementerian dikti berharap dosen pengampu Pancasila itu harus diberikan penyegaran lah. Baik itu dari segi pemahaman atau metode pembelajaran baru yang lebih atraktif yang sesuai dengan tantangan hari ini.
 Presiden Joko Widodo saat senam dalam program Pendidikan Penguatan Pancasila di Istana Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/8).(ANTARA FOTO/Rosa Panggabean) |
Kami akan memulai penandanya itu dengan Peluncuran Program penguatan Pancasila di perguruan tinggi, dengan mengundang perwakilan mahasiswa dari beberapa kampus di Indonesia, kampus negeri terutama, dan sejumlah dosen dikumpulkan di Istana Bogor 11-12 Agustus.
Mereka para mahasiswa datang bersama pembimbingnya, kurang lebih 530 mahasiswa dgn 100-an dosen. Setelah ada proses reoreantasi siang hari, malam harinya menonton film dengan judul
Pancasila, Cita-cita dan Realita. Film ini sebenarnya film dokumenter tentang pidato soekarno 1 Juni tentang lahirnya Pancasila.
Setelah itu lalu film itu didiskusikan, apa fakta yang bisa dilihat, temuan apa yang menarik, kemudian kedepannya kira kira apa yang terbayang oleh mahasiswa dalam mengarusutamakan pancasila.
Nah setelah itu nanti, ini kan
kick off, kita mulai dengan
training of facilitator. Indonesia kan luas banget, tidak mungkin UKP ini bisa menatar dosen dosen pancasila seluruh indonesia, tapi kami buat
training of trainers untuk melatih dosen lain di bidang Pancasila.