Jakarta, CNN Indonesia -- Politikus Partai Hanura Miryam S Haryani meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan pengacara Farhat Abbas sebagai tersangka memberikan keterangan palsu dalam persidangan. Miryam menilai keterangan Farhat yang disampaikan tidak lah benar.
"Jadi saya berharap, mohon pak jaksa memberikan, sampaikan kepada KPK bahwa saudara saksi ini saudara Farhat Abbas dikenakan, dijadikan tersangka seperti saya, memberikan keterangan tidak benar," kata Miryam di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (4/9).
Farhat dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan Miryam, selaku terdakwa memberikan keterangan palsu dalam persidangan kasus e-KTP. Miryam pun diberikan kesempatan majelis hakim memberikan tanggapan atas kesaksian Farhat.
Anggota DPR dari Fraksi Hanura itu mengatakan, kesaksian Farhat yang disampaikan hanya berdasarkan cerita pengacara Elza Syarief dan membaca berita di media massa. Miryam pun menilai keterangan dari Farhat itu tidak benar.
"Jadi saya rasa, banyak keterangan saksi ini tidak benar, keterangan saksi di sini, yang mulia," ujarnya.
Farhat lantas meminta kepada majelis hakim untuk menanggapi pernyataan Miryam. Kolega Elza Syarief itu menyatakan bahwa pernyataan Miryam itu semudah dirinya mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dalam persidangan.
"Ibu bicara semudah Ibu cabut keterangan di persidangan," kata Farhat.
"Ya tapi, masa ibu mengatakan itu (jadikan tersangka) semudah ibu mencabut BAP ibu di persidangan itu," kata Farhat.
Farhat pun sedikit bertanya soal urusan utang Miryam dengan Elza.
"Dalam sebulan terakhir ini ibu pernah
nagih uang ke ibu Elza Syarief nggak? Dalam sebulan terakhir ini ibu pernah menagih, menyuruh orang menagih ke kantor kita uang nggak?" tutur Farhat.
"Pernah," jawab Miryam.
"Pernah kan. masa' yang itu jujur, yang ini nggak jujur. Makasih pak," timpal Farhat ke Miryam.
Miryam ditetapkan sebagai tersangka dan didakwa memberikan keterangan palsu dalam persidangan kasus e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto. Dia dijerat dengan Pasal 22 jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bunyi Pasal 22 dalam UU Tipikor itu yakni, "Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta."