KPK: E-Budgeting Bikin Daerah Sulit Main Anggaran

CNN Indonesia
Selasa, 19 Sep 2017 06:04 WIB
KPK menyebut, e-budgeting dan e-planning oleh daerah di Indonesia baru 42 persen. Minimnya penerapan sistem itu karena daerah jadi sulit mainkan anggaran.
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyebut, e-budgeting dan e-planning oleh daerah di Indonesia baru 42 persen. Minimnya penerapan sistem itu karena daerah jadi sulit mainkan anggaran. (CNN Indonesia/Aghnia Adzkia).
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi mengklaim penerapan penganggaran dan perencanaan dengan sistem elektronik atau e-budgeting dan e-planning oleh pemerintah daerah di Indonesia baru sebesar 42 persen. Padahal, kewajiban penggunaan sistem elektronik telah ditetapkan sejak September 2016.

Deputi Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Pahala Nainggolan berkata, minimnya jumlah daerah yang menerapkan sistem elektronik dalam penganggaran dan perencanaan program dapat berarti banyak hal. Misalnya banyak daerah yang belum siap menerapkan sistem elektronik karena mereka jadi sulit 'bermain' anggaran.

"Karena mungkin beberapa membaca 'wah, ini susah nih kalau terjadi beneran, nitip-nitip (proyek) akan susah.' Kita sih positif melihat kalau e-planning masih kurang dari setengah berarti efektif sebenarnya," ujar Pahala di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Senin (18/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belum patuhnya daerah atas perintah penerapan sistem elektronik dalam penganggaran dan perencanaan program diakui Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Tjahjo mengakui ada beberapa provinsi yang konsisten menerapkan sistem e-budgeting dan e-planning, serta tidak memungut biaya untuk mengurus berbagai keperluan. Namun, ada daerah yang masih 'nakal' memungut bayaran atas pelayanan yang diberikan terhadap masyarakat.

"Padahal sistemnya sama. (Kendalanya) orang mengeluh sumber daya manusia lah (kurang). Ya harusnya kan progresiflah, revolusioner, kalau tidak cepat ya repot," kata Tjahjo.


Mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu juga mengaku tak bisa memberikan sanksi atau mekanisme untuk mencegah terjadinya korupsi oleh pejabat di daerah. Ia berkata, kepala daerah bukan bawahan Mendagri yang bisa setiap waktu diganti atau dimutasi dari jabatannya.

"Mereka dipilih oleh rakyat. Gubernur, Wali Kota, itu bukan bawahan saya. Kalau dia Pangdam, Kapolda atau Kapolres bisa langsung pecat dan ganti. Ini kan tidak, bisa diganti kalau berhalangan, meninggal, mungkin dia mundur sendiri atau terkena masalah hukum," katanya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER