Jakarta, CNN Indonesia -- Aktivis Amnesty Internasional Indonesia (AII) Bramantya Basuki melihat ada kaitan antara meningkatnya kasus penembakan bandar narkotik dengan pernyataan Presiden Joko Widodo terkait kampanye perang terhadap narkotika.
"Kami berharap kepala negara, kepala pemerintahan, sedikit berhati-hati mengeluarkan pernyataan publik, terutama soal narkoba," kata Bramantya Basuki saat ditemui di Gedung Ombusdsman RI Kuningan Jakarta Selatan, Selasa (19/9).
Dia menuturkan, saat Presiden berpesan untuk perang terhadap narkotik, kepolisian tampak bereaksi. Alhasil, terjadi peningkatan angka penembakan mati terhadap pengedar narkotik.
"Ada kenaikan yang signifikan. Pola berulang ketika Presiden Jokowi menyampaikan pidato pada 27 Juli tentang tembak mati saja. Pada Agustus 2017 langsung meningkat jadi 14 kasus," kata Bramantya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data yang dimiliki Amnesty Internasional Indonesia mencatat terjadi peningkatan kasus penembakan pengedar narkoba di sepanjang tahun 2017.
Hingga pertengahan tahun ini, terjadi sebanyak 80 kasus. Angka tersebut meningkat signifikan dibanding tahun 2016, yang hanya 18 kasus.
"Per hari ini terjadi peningkatan empat kali lipat dibanding data tahun 2016 yang sekitar 18 orang," tambah Bramantya.
Amnesty Internasional mempertanyakan kinerja kepolisian. Mereka khawatir polisi tidak melakukan
review internal dan independen atas temuan tersebut.
"Karena pasti ada alasannya. Kenapa angkanya sampai fantastis seperti ini. Kami khawatir jika tidak ada
review akan jadi bola salju seperti di Filipina," tutur Basuki.
Sejumlah aktivis LSM melakukan audiensi yang diselenggarakan oleh Ombudsman RI tentang prosedur penggunaan senjata api oleh kepolisian dalam operasi penangkapan terduga pengedar narkotik.
Audiensi ini dihadiri oleh sejumlah organisasi sebagai pihak pengadu dan kepolisian yang diwakili Wakil Kepala Irwasum Polri Irjen Ketut Yoga dan jajarannya, serta Direktorat IV Tindak Pidana Narkoba Bareskrim.
Langgar ProsedurPihak LSM juga mempertanyakan tindakan tembak di tempat terhadap pengedar narkotik oleh kepolisian yang dinilai kerap tak sesuai prosedur.
Aktivis LBH Masyarakat, Yohan Misero khawatir, upaya penembakan oleh pihak kepolisian dapat membahayakan keselamatan masyarakat bahkan petugas sendiri.
"Di Filipina ada kasus salah tembak, korbannya sipil, dan ada anak kecil," ujar Yohan.
Ia menyarankan, akan lebih baik jika terduga pelaku narkotik dapat ditangkap hidup, sehingga petugas bisa mengekplorasi jaringannya.
"Indonesia sudah tercoreng noda pelanggaran HAM oakibat penembakan ini, ditangkap hidup kemudian diinterogasi alangkah lebih baik," tambahnya.
Secara khusus, Yohan menyoroti penembakan terduga pengedar narkotik warga negara Taiwan dalam pengungkapan kasus 1 ton sabu di Pantai Anyer, Serang, Banten, beberapa waktu lalu.
Kebijakan itu dinilai tidak tepat. Sebab, menurutnya, polisi dapat mengungkap jaringan lebih luas seandainya pelaku ditangkap hidup.
Sementara peneliti Institute for Crime Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mempertanyakan motif polisi menembak mati terduga pengedar narkotik.
"Konteksnya apakah memang polisi melakukan itu tujuannya untuk mengungkap kasus atau mengeliminasi pelaku kejahatan," kata Erasmus.