Jakarta, CNN Indonesia -- Kekalahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada gugatan praperadilan yang diajukan Setya Novanto pekan lalu menyisakan kekecewaan bagi sejumlah pihak. Mereka yang kecewa menilai putusan hakim Cepi Iskandar dalam praperadilan itu tak masuk akal dan tak memahami kewenangan khusus KPK dalam proses penyidikan.
Dalam pertimbangan hakim, penetapan Novanto sebagai tersangka korupsi proyek e-KTP dianggap tidak sah karena dilakukan di awal proses penyidikan. Selain itu, bukti yang digunakan penyidik KPK untuk menjerat Novanto telah digunakan untuk tersangka lain.
KPK saat ini masih mengkaji proses untuk kembali menjerat Novanto. Sesuai Peraturan Mahkamah Agung (MA) 4/2016, putusan praperadilan yang memenangkan tersangka tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang sebelumnya telah menegaskan bahwa Novanto tak akan bisa lari dari jeratan hukum proyek senilai Rp5,9 triliun itu. Saut mengklaim penyidik telah memiliki lebih dari 200 alat bukti terkait keterlibatan Novanto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakkir menilai, KPK terburu-buru menetapkan Novanto sebagai tersangka. Lembaga anti rasuah, kata dia, belum punya bukti kuat yang benar menunjukkan perbuatan pidana yang dilakukan Novanto.
“Kalau perbuatan pidananya belum klir apa yang dilakukan kemudian tiba-tiba jadi tersangka itu memang tidak boleh,” ujar Muzakkir kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (3/10).
Alat bukti yang diajukan KPK di antaranya adalah sejumlah dokumen yang juga menjadi bukti dalam persidangan terdakwa Irman dan Sugiharto.
Dokumen-dokumen tersebut juga diklaim telah menjadi bukti permulaan penyelidikan kasus korupsi e-KTP sejak tahun 2013. Pihak KPK juga mengajukan bukti rekaman percakapan Novanto namun ditolak hakim.
Menurut Muzakkir, bukti rekaman tersebut memang tak cukup kuat untuk menunjukkan kejahatan yang dilakukan Novanto. Ia mengatakan, perbuatan jahat itu semestinya nyata didukung bukti satu dengan yang lainnya, bukan hanya melalui rekaman pembicaraan.
“Bukti rekaman itu belum menunjukkan perbuatannya apa. Misalnya dalam rekaman ada soal kasih uang, tapi ada enggak bukti kasih uangnya? Itu harus ada perbuatannya,” katanya.
Untuk memperkuat jerat penetapan tersangka Setya Novanto selanjutnya, Muzakkir mengatakan, penyidik KPK harus mengajukan bukti baru yang menunjukkan perbuatan pidana yang dilakukan jika ingin kembali menjerat Novanto sebagai tersangka. Adapun bukti yang telah digunakan untuk tersangka lain, menurutnya, tak bisa lagi menjadi bukti bagi Novanto.
“Bukti di persidangan lain itu kan digunakan untuk terdakwa yang disidang. Memangnya SN diperiksa untuk membuktikan itu? Kan tidak,” ucapnya.
 KPK harus mengajukan bukti baru yang lebih kuat agar sukses menjerat Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A) |
Pernyataan Muzakkir berbeda dengan ahli hukum lainnya, Hibnu Nugroho, dari Universitas Jenderal Soedirman. Ia mengatakan, bukti tersangka kasus korupsi e-KTP lainnya seharusnya bisa menjadi bukti untuk menguatkan penetapan Novanto sebagai tersangka.
Ia menganalogikan hal itu dengan kasus maling ayam.
Jika ada lima orang yang mencuri ayam, empat di antaranya telah menjadi tersangka karena telah terbukti mencuri ayam. Hibnu menilai akan janggal jika satu orang lain yang mencuri ayam tidak ditetapkan sebagai tersangka.
“Logikanya kan begitu. Kasus korupsi e-KTP ini kita sudah tahulah dilakukan berjemaah, jadi harusnya bukti tersangka lain bisa menjadi bukti untuk tersangka baru,” tutur Hibnu.
Menurutnya, hakim Cepi terlalu jauh memutuskan proses praperadilan dengan mempermasalahkan bukti. Hibnu berpendapat, pemeriksaan alat bukti semestinya hanya dilakukan saat proses pokok perkara.
“Yang namanya praperadilan itu hanya menguji penetapan tersangka, tapi kok ini sampai ke bukti. Hakimnya memang agak
offside ini,” kata dia.
Hibnu juga menilai hakim Cepi tak memahami aturan khusus KPK dalam menjerat tersangka. Dalam ketentuan pasal 44 UU KPK menyebut bahwa penyidik tidak perlu meminta keterangan terlebih dulu untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Namun dalam pertimbangan hakim menyatakan penetapan tersangka baru bisa dilakukan di akhir penyidikan.
“KPK ini punya kewenangan khusus, jadi seharusnya di tingkat penyidikan tanpa minta keterangan sudah bisa menetapkan tersangka. Tapi hakim maunya SN sudah diperiksa baru sah sebagai tersangka,” ucapnya.
Kerja Ekstra KPKDi sisi lain, ia sepakat untuk kembali menjerat Setya Novanto KPK harus mengajukan bukti baru yang berbeda dengan bukti dalam praperadilan sebelumnya. Ia juga menyarankan agar bukti rekaman percakapan itu tidak digunakan lagi oleh penyidik KPK jika kembali menjerat Novanto.
Dalam hal ini, lanjutnya, KPK harus bekerja ekstra keras jika ingin kembali menjerat Novanto. Menurut Hibnu, penyidik harus jeli memilah bukti yang akan digunakan sebagai bukti awal untuk menjerat Novanto.
“Ya sebaiknya tidak usah digunakan lagi karena takutnya itu menjadi yurisprudensi jika nantinya tersangka kembali mengajukan praperadilan,” ujarnya.
Hibnu juga menyarankan KPK untuk menyusun strategi baru agar dalam proses pemeriksaan Setya Novanto dapat memenuhi panggilan.
Proses pemeriksaan Novanto sebelumnya sempat terkendala karena pimpinan DPR itu mangkir dari panggilan KPK dengan alasan sakit. Kini Novanto dikabarkan telah pulang usai dirawat selama kurang lebih dua pekan di Rumah Sakit Premier Jatinegara.
“Ini memang harus cepet-cepetan saja. Kalau sudah sembuh ya KPK segera periksa. Tapi kali ini hati-hati, KPK harus ekstra memilah bukti yang digunakan,” katanya.
(wis)