LIPUTAN KHUSUS

Ekonomi Berdikari, Bertahan Hidup ala Punk

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Senin, 18 Des 2017 10:54 WIB
Mahalnya biaya rekaman membuat komunitas punk membuat studio sendiri. Bisnis lain juga dibuka dengan mengandalkan lingkar pertemanan sesama anak punk.
Tak mau tergantung dengan perusahaan rekaman, komunitas punk membuka studio rekaman sendiri untuk band punk. (CNN Indonesia/Priska Sari Pratiwi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ruang sempit berukuran 1x2 meter di bawah tangga itu disulap menjadi ruang rekaman minimalis. Dilengkapi peredam suara, microphone, dan peralatan band seadanya, ruang berdinding hijau itu menjadi tempat bagi band beraliran punk merekam lagu. Sementara di sisi ruangan lainnya terdapat satu buah komputer untuk mixing lagu.
    
Mahalnya biaya rekaman membuat Sodik alias Joy, pendiri komunitas punk Brengsex City berinisiatif membuat label rekaman sendiri bagi pecinta musik punk bernama ‘Brengsex City Home Record’ atau BCHR. Dari hasil patungan bersama anggota band dan teman-temannya di komunitas punk, Joy membeli seperangkat alat rekaman. 

“Dari pada rekaman di luar mending di-sediain sendiri, rekaman sendiri, ikut pertunjukan, dan didistribusikan sendiri,” ujar Joy saat ditemui CNNIndonesia.com.
Sebagian ruang di rumahnya pun diubah menjadi tempat rekaman. Meski tak terlalu luas, tiap hari ada saja band punk yang datang untuk sekadar berlatih rekaman. Nantinya, kata Joy, label rekaman ini akan dibuka bagi band punk lain di luar komunitas. 

Vokalis band punk The Roots ini tahu betul rumitnya bertemu operator label rekaman di luar sana. Belum lagi keterbatasan untuk mengatur waktu. Alasan itu yang membuat Joy tak ingin band punk lainnya merasakan kesulitan seperti dirinya. 
Ekonomi Berdikari dan Bertahan Hidup ala Punk (EMBARGO)Brengsex City Home Record, usaha label rekaman untuk musik punk yang dirintis Joy di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. (CNN Indonesia/Priska Sari Pratiwi)

“Kami pengin juga kan punya karya, tapi jangan dipersulit ruang dan waktu,” ujarnya. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain label rekaman, Joy juga memiliki usaha sablon kaos dan air minum kesehatan. Ia membuat sablon kaos yang biasanya dipesan sesama anak punk hingga sejumlah perusahaan. Keuntungannya mencapai Rp2 juta hingga Rp3 juta per bulan. 

“Lumayan hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari,” katanya. 

Ia juga menyediakan jasa desain grafis, fotografi, hingga kursus Bahasa Inggris bernama Equality Class. Aktivitas itu perlahan membangun kepercayaan masyarakat terhadap komunitas punk yang hidup di tengah pemukiman padat penduduk.
“Kami mulai di lingkungan sekitar dulu, bicara riil soal kerja-kerja nyata. Bukan enggak perlu turun ke jalan, suatu saat itu pasti, kita tetap berontak. Tapi perbaiki dulu ekonomi,” ujar Joy.

Sejak tak lagi bekerja sebagai desainer grafis di kantor pajak, Joy sadar dirinya harus tetap menafkahi keluarga. Berbagai usaha yang dirintis bersama teman-teman sesama punk pun ia jalankan. Menerapkan etika Do It Yourself (DIY) dengan produksi hingga distribusi yang dilakukan sendiri, ia bertahan hidup.

Hasilnya, Joy mengaku lebih bahagia dapat menjalankan usaha bersama teman-temannya. 

Do It Your Self

Etika mengejakan serba sendiri atau do it your self (DIY) memang dianggap sebagai keniscayaan bagi komunitas punk. Mereka umumnya memilih memproduksi segala hal sendiri dan menyalurkannya di internal komunitas punk sebagai bentuk kebebasan dan perlawanan. 

Personel band punk Shaolin Temple yang juga penggagas BCHR, Muhammad Haris mengatakan, usaha yang dirintis komunitas mereka umumnya berawal dari lingkaran pertemanan. Menurut pria yang akrab disapa Proph ini, ruang pertemanan yang menjadi sebuah komunitas ini kemudian menjadi peluang bisnis untuk menghasilkan keuntungan. 

“Justru yang mengajarkan kami bisa, ya dari komunitas. Semua dari pertemanan, awalnya enggak kenal, ketemu di acara ngobrol bareng ternyata nyambung. Mulai usaha,” katanya. 

Usaha label rekaman itu termasuk salah satu yang ia rintis bersama Joy. Meski memproduksi sendiri, Proph tak lantas anti dengan label besar. Sebab tak menutup kemungkinan bandnya akan bekerja sama dengan label besar. Asal dengan syarat sejumlah kesepakatan yang disetujui kedua pihak. 
Ekonomi Berdikari dan Bertahan Hidup ala Punk (EMBARGO)Menyablon kaos jadi salah satu aktivitas ekonomi komunitas punk. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)

Ia melihat kecenderungan label besar selama ini hanya berorientasi keuntungan. Hal itu yang dikhawatirkan akan berdampak pada hubungan pertemanan yang sudah dijalin oleh teman sesama punk. 

“Kalau dengan label besar sepakat ya jalan, kalau enggak ya enggak usah. Makanya kita bikin recording sendiri karena sepakat dari awal pertemanan,” katanya. 

Menurut Proph, kunci untuk menjalankan usaha dari komunitas punk adalah ikhlas dan kepercayaan. Selama hal itu dijaga, ia yakin tidak akan ada konflik yang berarti. 
“Jaga kepercayaan aja, jangan kecewain. Kalau salah minta maaf, proses kayak gitu yang bikin kami paham karakter dan enggak mencari profit,” ujarnya. 

Selain membuka studio rekaman, usaha lain yang kerap dibuka komunitas punk adalah jasa sablon kaos, tato, cukil kayu dan kreatifitas lain.

Komunitas punk muslim di Pulogadung membuat kerajinan miniatur berbahan dasar triplek dan menjualnya saat ada acara punk.

Ketua Divisi Kreatif Punk Muslim Nanang Maulana mengatakan, kerajinan yang mereka buat bahkan mendapat tawaran untuk pameran di luar negeri. 

Bertahan Hidup dengan Lapak

Kebutuhan sehari-hari memaksa Evy Juanita untuk membuka lapak aksesori khusus punk. Hal tersebuh dilakukannya demi membiayai kebutuhan anaknya.

"Pertama bisnis waktu Anak kelas 1 SD, kebutuhan meningkat," kata Evy. Menurutnya, sebagai orang tua tunggal, ia harus bisa memastikan kebutuhan anaknya bisa terpenuhi.

Evy mengaku, bisnis lapaknya bisa dibilang hanya modal dengkul. Saat itu teman yang punya usaha sablon mencetak nama dan logo band Evy, Punktat. Evy mendapat royalti dari sablon tersebut berupa kaos yang sudah disablon.
Ekonomi Berdikari dan Bertahan Hidup ala Punk (EMBARGO)Lapak aksesoris punk dibuka saat ada acara pagelaran musik. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
Karena terdesak kebutuhan ekonomi, kaos-kaos tersebut dijualnya setelah mendapat izin dari personel Punktat yang lain.

Kini, selain kaos, Evy juga menjual jaket dan celana khas punk yang penuh dengan embelem. Di lapaknya di Evy juga menjual sabuk, gelang, sepatu bot dan aksesoris lainnya. Ada yang dibelinya dari industri rumahan, ada juga yang dibuatnya sendiri.

"Ada juga orang bikin, bawa jaket sendiri, atau nyicil beli spikenya dulu. Tergantung budget-nya orang yang mau order," kata perempuan 45 tahun ini.

Evy mengatakan, punk generasi saat ini, banyak yang ingin serba instan. Misalnya, membeli jaket atau celana yang sudah terpasangi emblem. Hal ini diakuinya jadi peluang bisnis tersendiri baginya. "Sama-sama butuh,' Katanya.
Lihat juga:
Jalan Hidup Punk




(sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER