LIPUTAN KHUSUS

Cerita Dosen dan Guru yang Setia Jadi Anak Punk

Muhammad Andika Putra | CNN Indonesia
Senin, 18 Des 2017 13:37 WIB
Meski telah jadi dosen dan guru, Fakhran dan Stefanus tetap mengamalkan nilai-nilai punk. Aktivitas bermain musik dengan band punk juga tetap dilakukan.
Muhammad Fakhran, dosen yang tetap setia menjalankan nilai-nilai punk. (CNN Indonesia/Andika Putra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Namanya Muhammad Fakhran, tapi di komunitas punk ia lebih dikenal dengan panggilan Fuckrun. Sehari-hari, Fakhran adalah dosen di dua perguruan tinggi di Jakarta, Universitas Al Azhar dan Universitas Islam 45.

Jadwal janji wawancara usai mengajar dimajukan oleh Fakhran karena ada jadwal manggung bersama band-nya, No Slide. Fakhran adalah satu contoh pekerja di ibu kota yang tetap menjalani aktivitas bersama komunitas punk.

Meski terkadang ada semacam benturan pemahaman dengan orang-orang sekitaranya, namun bagi Fakhran, sama sekali tak ada yang salah dengan punk dan mereka yang terlibat di dalamnya.
Fakhran mengenal punk sejak 2003 ketika SMA saat melihat video klip lagu Basket Case milik Green Day. Fakhran mengetahui punk saat itu sebagai genre musik dengan ideologi melawan dan gaya berpakaian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak SMA Fakhran sudah mulai mencoba berpenampilan layaknya anak punk. Rambut dicat warna-warni, tindikan di telinga dan jaket penuh emblem. Ia merasa bangga bisa berbeda dari teman-teman di sekolah dan linkungannya. Tak cuma dalam hal penampilan, nilai-nilai punk juga mulai dipelajari. Fakhran merasa nilai-nilai tersebut cocok dengannya.

Saat kuliah ia semakin mendalami punk. Ia sering berdiskusi soal punk dan sangat sering datang ke gigs atau acara punk untuk mengetahui lebih dalam.
Cerita Dosen dan Guru yang Setia Jadi Anak Punk (EMBARGO)Muhammad Fakhran, anak punk yang kini menjadi dosen di dua kampus di Jakarta. (CNN Indonesia/Andika Putra)
"Sampai sekarang ideologi punk itu ada dalam diri gua karena ngepas banget,” kata alumnus Fakultas Sastra Inggris Universitas Negeri Jakarta dan master kajian budaya di Univesitas Indonesia ini.

Saat ini sebagai dosen, semangat perlawanan diwujudkan dengan mengubah pikiran mahasiswanya dari cara yang paling sederhana. Misalnya dengan tidak menganggap bahwa dosen selalu benar dan bahkan melawan pengajar yang selalu merasa paling benar.


Kepada anak didiknya, Fakhran juga mengaku tak pernah menyembunyikan identitas punknya. Termasuk mengakui bahwa ia adalah seorang pemain bass band punk.

Ia juga mengaku kerap menyisipkan nilai punk baik secara langsung maupun tidak di sela-sela materi kuliah. “Gue minta mahasiwa jujur kerjain tugas, kalau mengutip tulis dari mana dikutip, jangan asal copy paste. Itu konsep do it yourself (DIY) yang gua terapin dari punk. Kalau ada mahasiswa yang ketahuan copy paste, akan gua hina," kata Fakhran.

Selain bergabung dengan komunitas punk dalam negeri, Fakhran mengikuti forum diskusi Punk Schoolars Network (PSN) yang bermarkas di Inggris sejak 2012. Perkumpulan ini berisikan para akademisi yang juga anggota punk.
Ia sempat terpilih untuk mengikuti simposium PSN di North Hampton, Inggris yang digelar setiap tahun karena karya tulisnya dinyatakan layak. Namun karena tak punya ongkos, ia harus mengurungkan niatnya.

“Tiket pulang pergi Rp 14 juta, mahal banget," kata Fakhran.

Kini bersama bandnya, No Slide, Fakhran sedang fokus menggarap album setelah merilis Extended Play (EP). No Slide menurutnya banyak menulis lirik lagu dengan tema pendidikan.

Fakhran bangga bisa menjaga eksistensi punk sembari menjadi seorang pendidik sekaligus menunjukkan bahwa punk tidak selalu negatif.

"Enggak semua yang meraka lihat dan baca soal punk itu salah. Mungkin punk enggak sesuai dengan apa yang mereka inginkan, tapi akan ada sesuatu hal yang bisa mereka banggakan nanti tentang kami," kata Fakhran.

Stefanus Guru SD Bertato

Setali tiga uang dengan Fakhran, Stefanus Hamonangan juga seorang punk, musisi dan akademisi. Ia memiliki band punk bernama Destination dan berprofesi sebagai guru SD pada salah satu sekolah swasta di Jakarta Selatan.

Bagi Stef, profesi guru dan punk punya kesamaan, yakni sebuah panggilan hidup.

Stef mengaku, nilai-nilai punk sangat cocok dengan dirinya. Karena itu lepas SMA, Stef mulai menindik telinga dan membuat tato.

Sempat ada penolakan dari orang tuanya. “Ibu gua sempat melarang waktu itu, keluarga gua memiliki agama yang kuat, apa lagi pemberitaan soal punk saat itu selalu negatif," kata Stef.

Namun setelah dijelaskan, orang tua Stef bisa memaklumi dan tak mempermasalahkan jalan hidup yang ditempuhnya.

Ketika mendalami subculture punk saat kuliah, Stef sadar bahwa punk bukan soal penampilan tapi pemikiran. Bagaimana punk bisa berkontribusi pada lingkungan sekitar dari hal yang paling sederhana. Seperti peduli sesama di tempat tinggal atau membuang sampah pada tempatnya.
Pengetahuan itu membuat Stef tergerak untuk mengajar anak jalanan sejak tahun 2009 sampai saat ini. Ia mengajar apa yang disukai anak jalanan dan mulai dari hal yang sederhana. Seperti jangan meminta uang secara paksa ketika ngamen.

"Dari situ gua merasa terpanggil untuk menjadi guru, bukan sekadar profesi tapi panggilan. Sama ketika punk memanggil gua," kata Stef.

Belum lulus kuliah, Stef memulai profesi guru formal pada tahun 2011 dengan mengajar di salah satu SMP sawsta di Jakarta. Setelah lulus pada tahun 2012 ia menjadi guru salah satu SD swasta di Jakarta Barat sampai tahun 2014. Setelah itu pindah ke sekolah swasta lain untuk menjadi guru SMP.
Cerita Dosen dan Guru yang Setia Jadi Anak Punk (EMBARGO)Stefanus Hamonangan guru SD yang tetap menjalankan nilai-nilai punk dan tak malu mengakuinya. (CNN Indonesia/Andika Putra)
Alih-alih berjalan dengan baik, Stef mendapat masalah di sekolah tersebut. Pihak sekolah mengetahui kalau Stef memiliki 10 tato dan diberhentikan pada 2017 dengan alasan sering tertidur di kelas saat mengajar.

Stef mengaku tak pernah menutupi perihal rajah di tubuhnya jika ada yang bertanya. Kejujuran ini menurutnya didapat dari punk.

“Gua bilang kalau gua mengajar ilmu, bukan mengajarkan soal tato," kata Stef.

Sekolah ditempatnya mengajar saat ini lebih bisa memaklumi dan tak mempermasalahkan soal atau tindik di telinganya. Sejumlah guru juga mengetahui bahwa Stef adalah musikus band punk.
"Ke siswa, gua bilang lobang tindikan ini ada karena cidera. Kalau gua bilang gua pakai anting dan gua jelasin punk apa, mereka enggak akan mengerti. Sampai saat ini orang tua murid enggak ada yang protes karena gua tetap mengajar," kata Stef.

Stef melanjutkan, "Gua sisipkan ideologi punk ke siswa saat ngajar. Seperti enggak boleh sombong dan harus berbagi, ya sama rata sama rasa. Gua juga selalu apresiasi karya meraka jelek, yang penting itu karya sendiri, sesuai dengan konsep DIY." (sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER