Jakarta, CNN Indonesia -- Calon Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyebut, jenis ancaman baru atau kontemporer terhadap Indonesia tak lagi terpaku pada negara atau kekuatan militer tertentu. Kemajuan teknologi dan dinamika negara-negara kuat di dunia membuka peluang ancaman jenis lain yang lebih sulit diantisipasi. Namun demikian, ancaman tradisional harus tetap ditangani.
"Ancaman menjadi sulit ditentukan berdasarkan wilayah dan geografisnya, oleh kemajuan teknologi, komunikasi, sebaran komunikasi, dan sebaran manusia menjadi tak mungkin untuk dikendalikan. Hal ini dapat muncul ancaman kapan saja dan dimana saja," ujarnya, saat berbicara dalam uji kepatutan dan kelayakan calon Panglima TNI, di Komisi I DPR, kompleks parelemen Senayan, Jakarta, Rabu (6/12).
Hadi, yang kini menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Udara, menyebut ancaman-ancaman itu antara lain, pertama, pergeseran kekuatan negara adikuasa atau superpower.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konflik saat ini telah berubah dari perang secara tradisional menjadi perang
proxy (perang menggunakan konflik di negara lain) dan perang
hybrid atau campuran. Hal ini dimungkinkan akibat mulai melemahnya negara adikuasa. Kekuatan dunia menjadi terbagi-bagi atau multipolar. Hadi mencontohkannya dengan krisis nuklir Korea Utara.
"Dari perang konvensional menjadi perang
proxy," imbuh dia.
Kedua, terorisme dan radikalisme. Baginya, ancaman jenis ini bisa dipakai negara atau pihak tertentu untuk melakukan
proxy war ataupun
hybrid war di negara lain. Ancaman ini terjadi di semua negara dan bahkan di negara adidaya.
Terorisme dan radikalisme, kata Hadi, terbilang rumit akibat jaringan teknologi komunikasi yang membantu penyebaran pesan-pesan radikal ataupun perintah teror.
"Semakin kompleks dengan arus komunikasi, melalui jaringan medsos, dari kelompok teroris yang mampu secara cepat menyebarkan pengaruh dan mengaktifkan sel tidur di seluruh dunia demi mendukung kepentingannya," imbuh dia.
Ketiga, serangan siber. Ancaman ini, lanjut Hadi, bisa menimbulkan kerusakan yang sama kuat dengan serangan konvensional. Pasalnya, teknologi siber ini dimanfaatkan pula dalam pertahanan negara. Ia mencontohkannya dengan serangan AS dan Israel terhadap program nuklir Iran.
"Serangan siber setara dampaknya dengan senjata kinetik," ucap dia.
Keempat, potensi konflik di sekitar Laut Natuna. Hadi mengatakan, ancaman terjadi akibat tindakan ofensif China untuk menguasai sumber-sumber alam di sekitar Laut China Selatan.
Salah satu bentuknya, pembangunan pangkalan di Kepulauan Spratly yang sedang diperebutkan sejumlah negara. Selain itu, ada perompakan yang terjadi di perairan perbatasan dengan Filipina ataupun Malaysia.
"TNI bertanggungjawab atas keselamatan di wilayah laut yang menjadi yurisdiksinya, termasuk laut bebas yang berbatasan dengan negara lain, ujar mantan Sekretaris Militer Presiden Jokowi ini.
Meski ada ancaman-ancaman jenis baru, Hadi tetap mewaspadai ancaman tradisional terhadap Indonesia akibat posisi geografisnya. Selain karena diapit oleh benua Australia dan Asia, Indonesia juga merupakan negara kepulauan dengan keragamannya. Ia menyebut soal potensi kasus Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), serta konflik komunal masih akan terjadi. Hal ini diperparah dengan liberalisasi yang etrjadi pasca-reformasi.
"Jika ini tidak dikelola, akan meningkat sebagai ancaman yang lebih berat lagi," cetus dia.
Diketahui, Hadi tengah mengikuti uji kepatutan dan kelayakan di Komisi Pertahanan DPR. Kehadirannya di DPR diantar oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Mulyono dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi.
Sebelum menjabat sebagai KSAU, Hadi mengemban tugas sebagai inspektur jenderal (irjen) Kementerian Pertahanan. Lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) tahun 1986 ini sempat menjabat sebagai sekretaris militer Presiden Joko Widodo pada 2015.
(pmg)