Jakarta, CNN Indonesia -- Empat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur akan tampil dalam pemilihan gubernur Jawa Barat 2018. Di antara mereka adalah para jenderal purnawirawan yang akan bertarung di lumbung suara pilpres 2019.
Pasangan pertama yang sudah lebih dulu diusung Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN) adalah Mayor Jenderal (Purnawirawan) Sudrajat dan Muhammad Syaikhu.
Pasangan lainnya yaitu Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi yang didukung Partai Demokrat dan Golkar. Selanjutnya, Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum yang didukung oleh Partai NasDem, Hanura, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terakhir, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengusung pasangan Mayor Jenderal (Purnawirawan) Tubagus Hasanuddin dan Inspektur Jendral Anton Charliyan. Hanya PDIP yang tanpa koalisi dalam pesta demokrasi lima tahunan ini.
Tiga orang dari empat pasangan calon berlatar belakang TNI dan Polri. Mereka yakni Sudrajat dan TB Hasanuddin yang merupakan pensiunan jenderal bintang dua dari matra TNI Angkatan Darat. Sementara, Anton adalah jenderal bintang dua aktif dari korps Bhayangkara.
Sudrajat saat aktif sebagai militer, malang melintang di sejumlah posisi, dengan posisi terakhir sebagai Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan pada 2001. Sudrajat merupakan putra asli Pasundan, kelahiran Sumedang 69 tahun silam.
Sementara, TB Hasanuddin yang merupakan lulusan Akmil 1974, pernah menjadi ajudan Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno dan Presiden ke-3 RI BJ Habibie. TB Hasanuddin juga mantan Sekretaris Militer Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat ini, pria kelahiran Majalengka itu aktif sebagai anggota DPR dari Fraksi PDIP. Dia juga menjabat sebagai Ketua DPD PDIP Jawa Barat.
Sedangkan, Anton menjabat sebagai wakil kepala Lemdiklat Polri. Dia pernah menjabat Kepala Divisi Humas Polri, sebelum dipercaya sebagai Kapolda Jawa Barat pada Desember 2016 hingga Agustus 2017. Anton juga putra asli Pasundan.
Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran, Firman Manan menilai, diusungnya para jenderal yang telah pensiun atau masih aktif di pilgub Jawa Barat 2018 bukan pilihan ideal bagi PDIP maupun Gerindra.
"PDIP itu kenapa kemudian akhirnya jadi partai beda, ini kan bukan pilihan ideal buat PDIP. Lalu kemudian untuk Gerindra, saya pikir juga persoalan pilihan yang sebetulnya tidak ideal," kata Firman saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, Minggu (7/1).
Firman menyebut, baik PDIP dan Gerindra kesulitan mencari sosok yang memiliki elektabilitas tinggi. Awalnya, PDIP sempat melirik Ridwan Kamil dan Dedi Mulyadi untuk menjadi calon gubernur, sementara Gerindra sempat menggandeng Deddy Mizwar.
Calon gubernur Jawa Barat dari PDIP, Tubagus Hasanuddin. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Namun, selama penjajakan PDIP dan Gerindra dengan calon-calon yang memiliki elektabilitas tinggi dari beberapa survei terakhir itu tak memiliki titik temu. Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar berada di posisi teratas dalam sejumlah survei terakhir.
"Ini pilihan realistis saja buat PDIP. Kenapa akhirnya mengusung TB dan Anton Charliyan," kata Firman. "Jadi tidak semata-mata persoalan
background militer atau polisinya, ya."
Menurut dia, dalam konteks pemilihan kepala daerah latar belakang militer maupun polisi tak terlalu dilihat oleh para pemilih. Meskipun, mereka yang berlatar militer atau polisi memiliki modal soal ketegasan, kedisiplinan, kepemimpinan, serta pengalaman sebagai perwira tinggi di TNI dan Polri.
"Kalau persoalan elektabilitas saya pikir agak sulit, paling tidak sampai hari ini. Bicara elektabilitas, mereka itu bukan perwira tinggi yang populer, apalagi kalo dibandingkan dengan Kang Emil, Kang Demiz, dan kang Dedi Mulyadi," tuturnya.
Firman mengatakan, PDIP maupun Gerindra harus bekerja keras meningkatkan elektabilitas pasangan masing-masing yang mereka usung untuk menyaingi Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar yang memiliki elektabilitas tinggi dalam sejumlah survei sampai hari ini.
Menurut Firman, peluang TB Hasanuddin-Anton paling berat melawan pasangan lainnya, baik itu Ridwan Kamil-UU, Sudrajat-Syaikhu maupun Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi.
Pasalnya, tingkat popularitas serta elektabilitas TB Hasanuddin dan Anton belum terlalu tinggi dibandingkan pasangan lain. Ditambah lagi, kata Firman, Jawa Barat menjadi medan 'pertempuran' yang berat bagi PDIP, yang selalu keok dalam pemilihan gubernur sebelumnya, pada 2008, 2013, hingga pemilihan presiden (pilpres) 2014.
"Apalagi PDIP kali ini tidak berkoalisi, hanya sendiri, jadi saya pikir berat bagi PDIP untuk kemudian bertarung dalam pilgub (Jawa Barat) kali ini," ujarnya.
 Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi diusung Partai Golkar dan Demokrat pada pilgub Jabar. (Dok. Istimewa) |
Firman melanjutkan, karakteristik pemilih Jawa Barat masih didominasi oleh kalangan Islam tradisional. Suara pemilih Islam ini yang kemungkinan besar akan direbutkan oleh empat pasangan calon.
Namun, lanjut Firman, dengan melihat komposisi partai pengusung, pasangan Ridwan Kamil-Uu yang akan diuntungkan. Sementara itu, pasangan Sudrajat-Syaikhu serta Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi harus kerja ekstra, meskipun tak seberat PDIP yang hanya sendirian mengusung TB Hasanuddin-Anton.
"Kemungkinan Gerindra-PKS itu akan mengambil suara pemilih islam. Tetapi ini dengan berhadapan dengan figur Kang Emil-Uu, ada dua partai Islam, yang ini lebih Islam tradisional, PPP dan PKB," ujarnya.
"PKS biasanya unggul di perkotaan. Di Jawa Barat relatif pemilih religius tetapi tradisional juga. Jadi (Gerindra-PKS) akan kesulitan juga, walaupun tidak seberat PDIP," kata Firman menambahkan.
Di sisi lain, pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Idil Akbar menilai, majunya para jenderal perlu diperhitungkan. Mereka, kata Idil memiliki sumber daya berupa jaringan di kalangan TNI dan Polri, meskipun kedua institusi tersebut netral dalam setiap pesta demokrasi.
Selain jaringan tersebut, Idil menambahkan, para jenderal juga memiliki jaringan pengusaha yang siap menyokong modal politik, terutama saat massa kampanye nanti.
"Secara kontekstual mereka punya sumber daya, terutama soal jaringan ya, jaringan tentara juga cukup kuat, walaupun mereka dikatakan netral, tapi bagi saya jaringan itu tetap ada. Kemudian jaringan pengusaha, karena mereka didukung oleh pengusaha yang luar biasa," kata Idil kepada
CNNIndonesia.com.
 Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum diusung empat partai, termasik PPP, dalam pilgub Jabar. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar) |
Idil menilai, calon gubernur maupun wakil gubernur dari kalangan jenderal harus berjuang keras meningkatkan popularitas dan elektabilitas untuk menyaingi calon dari sipil, seperti Ridwan Kamil-Uu dan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi yang cukup tinggi di setiap survei. Dia berpendapat, Ridwan Kamil masih akan unggul.
"Ini akan dinamis dan juga akan memberi tontonan politik yang menarik, karena perebutan Jawa Barat itu sebenarnya perebutan suara Indonesia," ujar Idil melanjutkan.
Mengamankan Suara PilpresIdil menyebut, perebutan suara pada pilgub Jawa Barat ini tak bisa dilepaskan dari kontestasi pilpres 2019. Pemilihan pasangan calon yang dilakukan PDIP dan Gerindra, dengan mengusung dari kalangan TNI dan Polri dianggap salah satu upaya merebut suara untuk pilpres yang hanya berjarak setahun.
"Jadi bukan hanya di Jawa Barat, tapi ada juga di beberapa daerah yang kemudian memajukan jenderal. Itu menurut saya upaya politik yang dilakukan oleh partai untuk mengamankan suara di pemilu 2019," kata dia.
Pada pemilihan kali ini, berdasarkan data KPUD Jawa Barat, Daftar Pemilih Tetap (DPT) berjumlah 32.809.057 orang. Jumlah DPT berkurang sekitar satu juta orang saat pilgub Jawa Barat 2013.
Sementara itu, pada pilpres 2014 lalu, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kalah telak dari pasangan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan mantan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa. Jokowi-JK hanya mengantongi 9.530.315 (40,22%) suara, sementara Prabowo-Hatta 14.167.381 (59,78%).
Menurut Idil, yang terpenting bagi partai politik adalah memenangkan pemilu 2019, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Pemilihan kepala daerah, menurut Idil, adalah bagian dari integrasi untuk memenangkan pemilu.
"Namun juga bukan tidak penting tapi akan memberi dukungan besar terhadap kemenangan partai politik (dan presiden yang diusung) di pemilu 2019," ujarnya.
Sementara, Firman menyebut pilgub Jawa Barat 2018 akan menjadi batu loncatan untuk mengamankan suara pada pilpres 2019. Menurut dia, hitung-hitungan partai politik tidak semata memenangkan jagoannya di pilgub Jawa Barat 2018, tetapi juga untuk kepentingan pilpres 2019.
"Tentunya pilgub 2018 itu tak bisa dilepaskan dari kepentingan pilpres 2019. Makanya kenapa poros koalisi mengarah ke sana," kata Firman.
 Gerindra dan PKS berusaha mengamankan suara untuk pilpres 2019 dengan mencalonkan pasangan Sudrajat-Syaikhu di pilgub Jabar. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari) |
Firman mengatakan, calon gubernur dan wakil gubernur yang diusung oleh masing-masing partai politik tersebut nantinya diharapkan bisa membantu memenangkan calon presiden yang mereka dukung pada Pilpres 2019.
Dia menyebut, Gerindra dan PKS berusaha mempertahankan keunggulan suara Prabowo dari Jokowi pada pilpres 2014 lalu di Jawa Barat, dengan memasangkan duet Sudrajat-Syaikhu.
Sementara itu, PDIP yang memiliki koalisi ditingkat pusat dengan NasDem, Hanura, PKB, PPP, Golkar, cukup berat untuk memenangkan pilgub Jawa Barat edisi kali ini.
Menurut Firman, pengamanan suara Pilpres 2019 tidak hanya terjadi di Jawa Barat, tetapi juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menggelar pemilihan gubernur pada tahun ini. Namun, Jawa Barat menjadi perhatian utama lantaran memiliki suara pemilih yang banyak dibandingkan wilayah lainnya.
"Tetapi Jawa Barat sebagai pemilih terbanyak, pengalaman 2014 Presiden Jokowi kalah, tentu dinamika akan tinggi. Pertarungan pilgub Jawa Barat akan semakin menarik," kata Firman.
Saiful Munjani Research & Consulting (SMRC) pada Kamis (2/11) merilis survei Pilkada Jawa Barat 2018 dan Pilpres 2019. Joko Widodo tercatat mampu mengungguli Prabowo Subianto dengan perolehan dukungan 48,8 persen melawan 43,5 persen di wilayah Jabar.
Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan Djayadi menuturkan siapapun yang bakal menang di Jawa Barat bakal punya modal yang lebih kuat di Pilpres 2019, bergantung bagaimana suara keberpihakan gubernur terpilih nantinya.
"Yang penting itu sikap gubernur Jabar terpilih 2018 itu siapa yang akan dia dukung untuk pilpres. Itu yang nanti akan cukup menentukan," ungkap Djayadi.
(pmg/gil)