Jakarta, CNN Indonesia -- Keikutsertaan sejumlah perwira aktif TNI dan Polri pada pilkada serentak 2018 dinilai sebagai kemunduran proses demokrasi di Indonesia. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menyoroti para perwira yang masih aktif saat mereka diusung sejumlah partai untuk maju pada pilkada.
Koordinator Kontras Yati Andriyani menyebut hal ini sebagai pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang menjunjung supremasi sipil dalam politik.
"Salah satu semangat reformasi adalah tidak melibatkan TNI/Polri di dalam politik praktis. Tetapi, sekarang tampaknya terjadi pembiaran atas langkah anggota TNI/Polri aktif berpolitik," kata Yati saat ditemui di Kantor Kontras, Jakarta Pusat, Selasa (9/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yati mengamati beberapa kandidat cagub/cawagub dari kalangan TNI/Polri yang masih aktif sering kali melakukan manuver politik menjelang pilkada serentak 2018 sebelum mengundurkan diri dari institusinya.
Padahal, keterlibatan TNI-Polri dalam perpolitikan telah dicabut pascareformasi 1998. Lahirnya Undang-undang Nomor 34/2004 tentang TNI dan UU Nomor 2/2002 tentang kepolisian telah menegaskan anggota TNI/Polri dilarang kembali masuk ke ranah politik praktis.
"Nah, kalau situasi ini (majunya TNI/Polri) tidak dihentikan dan diantisipasi, agenda reformasi mau dibawa ke mana? Ini sama saja ada peluang TNI/Polri diberikan ruang untuk berpolitik lagi," ujarnya.
"Sepanjang mereka masih aktif menjadi anggota TNI dan Polri, maka mereka tak boleh melakukan kampanye, deklarasi, maupun langkah politik lainnya," ujarnya.
Yati mengatakan, peranan partai politik yang mengusung anggota TNI/Polri aktif dalam berpolitik praksis dinilai sebagai pintu masuk kiprah militer untuk kembali eksis di ranah politik.
Padahal, kata dia, partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi yang seharusnya menjauhkan nilai-nilai antidemokrasi dalam proses mencari pemimpin bagi masyarakat.
"Dalam demokrasi, partai politik semestinya tidak memberikan ruang bagi anggota TNI/Polri yang masih aktif untuk melakukan langkah-langkah politik dalam pilkada. Apalagi kalau partai politik proaktif mendekati anggota TNI/Polri untuk berpolitik praktis," ujarnya.
 Koordinator Kontras Yati Andriyani menyebut keterlibatan TNI/Polri di pilkada sebagai pengkhianatan terhadap semangat reformasi. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho) |
Bagi Yati, parpol seharusnya memiliki mekanisme yang ketat dalam merekrut anggota TNI/Polri sebagai kandidat.
Yati memberikan catatan agar parpol mau menerima kandidat dari TNI/Polri yang sudah pensiun atau mengundurkan diri secara resmi jauh-jauh hari sebelum pencalonan. Hal ini merupakan salah satu fungsi pendidikan politik yang baik bagi masyarakat.
"Kalau bagi yang belum resmi mengundurkan diri khawatir kekuasaan itu tetap digunakan oleh mereka dengan menggunakan jejaring dan sumber daya di TNI/Polri, dukungan ini bisa secara terbuka atau diam-diam," kata Yati.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, tugas utama TNI/Polri dalam sistem demokrasi adalah menjaga pertahanan dan keamanan negara. Bukan justru difungsikan sebagai pihak yang berpolitik.
Al Araf khawatir keterlibatan anggota aktif TNI-Polri ke dalam politik praktis justru berpengaruh terhadap netralitas kedua lembaga tersebut dalam gelaran pemilu.
"Saya percaya sikap Panglima TNI dan Kapolri itu mengharuskan anggotanya netral, itu harus termanifestasikan sampai ke bawah. Itu harus jadi pijakan dan patokan dari level atas sampai bawah tetap netral," ucap Al Araf.
Araf meminta para perwira TNI-Polri yang maju dalam kontestasi pilkada 2018 secepatnya mengundurkan diri secara resmi.
Hal ini penting agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan yang dilakukan oleh para kandidat dari TNI/Polri terhadap jajarannya masing-masing yang berpotensi mencederai proses demokrasi di pilkada 2018.
"Bagi yang belum memgundurkan diri, silahkan untuk memgundurkan diri. Jadi poin pertama sesegera mungkin parpol pengusung mengambil langkah untuk menyikapi pemberhentian itu," katanya.
Pada pilkada serentak 2018, sejumlah parpol mengusung perwira tinggi TNI/Polri di berbagai daerah.
Diketahui Edy Rahmayadi (Pangkostrad) sebagai cagub Sumut, Edy Natar Nasution (Komandan Korem 31/Wirabima) sebagai cawagub Riau. Keduanya telah mengundurkan diri dari TNI.
Dua purnawirawan TNI lainnya yang ikut pilkada yaitu, Tubagus Hasanuddin (Mantan Sekretaris Militer Presiden Megawati dan SBY) sebagai cagub Jabar, dan Sudrajat (mantan Kepala Pusat Penerangan TNI) sebagai cagub Jabar.
Sementara perwira tinggi Polri yaitu, Anton Charliyan (Wakil Kepala Lemdiklat Polri) sebagai cawagub Jabar, Murad Ismail (Komandan Korps Brimob) sebagai cagub Maluku, dan Safaruddin (Kapolda Kaltim) sebagai cawagub Kaltim. Mereka dikabarkan telah mengundurkan diri.
(pmg)