Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi membatasi kebebasan berekspresi.
"Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi serta membatasi kebebasan berekspresi," kata Koordinator Bidang Advokasi Kontras, Putri Kanesia di Kantor Kontras, Kamis (8/2).
Putri menyampaikan, dalam pasal tersebut tidak diatur secara jelas pengertian dari kritik dan penghinaan terhadap presiden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu dianggap berpotensi pada penilaian subjektif aparat penegak hukum dalam menilai suatu pernyataan dari seseorang yang disampaikan kepada presiden.
"Definisi kritik dan penghinaan masih
debatable," ujarnya.
Apalagi, menurutnya, pasal penghinaan presiden juga masuk dalam delik umum, yang artinya dapat segera diproses tanpa perlu menunggu aduan dari korban.
Dari catatan Kontras, sepanjang 2014-2017 setidaknya ada 17 upaya kriminalisasi yang menggunakan delik penghinaan kepada presiden tersebut.
Kontras berpendapat pasal penghinaan presiden tersebut dihapuskan, sebab sudah ada pasal penghinaan di dalam KUHP.
"Siapapun yang mengalami penghinaan bisa melalukan pengaduan dengan melapor kepada pihak berwajib termasuk presiden, tapi melaporkan pasal penghinaan saja tidak spesifik penghinaan kepada presiden," tutur Putri.
Lebih lanjut, Putri menuturkan, badan publik maupun pejabat publik seharusnya terbuka terhadap masukan maupun kritik dari masyarakat, sebab mereka yang seharusnya menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Panitia Kerja RKUHP di DPR saat ini tengah menggodok berbagai pasal yang ada di dalam RKUHP, salah satunya tentang pasal penghinaan presiden. Naskah awal dari pemerintah mengakomodasi pasal yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Salah satu opsi dalam pembahasannya, menyematkan delik umum dalam pasal itu. Jika disahkan, penghina presiden bisa diproses hukum tanpa perlu ada aduan dari kepala negara.
MK telah membatalakan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. MK menilai, tiga pasal itu bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang rentan manipulasi.
(pmg/gil)