Jakarta, CNN Indonesia -- Keinginan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai mengingkari agenda reformasi.
Hal itu disampaikan Komisioner Komnas HAM bidang Pengkajian dan Penelitian, Mochamad Choirul Anam kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (2/2).
"Menghidupkan pasal tersebut, bermakna mengingkari agenda reformasi," ujar Anam.
Anam berpendapat seharusnya DPR mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah membatalkan atau menghapuskan pasal penghinaan presiden dalam KUHP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, penghapusan pasal penghinaan presiden oleh MK tersebut bukan hanya persoalan perdebatan pasalnya saja, tetapi juga terkait dengan cita-cita reformasi menjaga demokrasi di Indonesia.
Penghinaan presiden pada KUHP lama tercantum dalam pasal 134, 136, dan 137. Pasal-pasal tersebut dihapus oleh MK pada 2006 berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Namun, penghinaan presiden rencananya kembali dimasukkan dalam KUHP. Dalam RKUHP pasal 262 sampai 264 termuat soal penghinaan presiden. Kriteria penghinaan kepada presiden secara spesifik diatur pada Pasal 264 yang berbunyi:
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Anam mengatakan, menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden bisa membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Sebaiknya, menurut dia, kritik atau serangan terhadap seseorang atau individu termasuk kepada presiden, dikenakan pasal penghinaan biasa.
"Individu statusnya sama dengan individu lainnya," ujar Anam.
(wis)