Panja Klaim Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Ada Batasan

Abi Sarwanto | CNN Indonesia
Kamis, 08 Feb 2018 03:04 WIB
Anggota Panja RKUHP Taufiqulhadi menyebut pasal penghinaan presiden tidak akan berlaku apabila untuk kepentingan umum dan membela diri.
Anggota Panja RKUHP Taufiqulhadi menyebut pasal penghinaan presiden tidak akan berlaku apabila untuk kepentingan umum dan membela diri. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pasal penghinaan presiden dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) diklaim memiliki batasan yang disesuaikan dengan iklim demokrasi. Hal itu dinilai berbeda dengan pasal serupa dalam KUHP lama yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

"Dulu itu kan pasal penghinaan di dalam iklim negara kediktatoran. Kalau ini kita bahas dalam iklim demokrasi. Karena itu, ini ada batasan," kata Anggota Panja RKUHP Taufiqulhadi di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (7/2).

Taufiqulhadi menjelaskan, penghinaan presiden yang diatur dengan delik umum itu tidak akan berlaku apabila untuk kepentingan umum dan untuk membela diri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Pasal itu disebut tidak berlaku bagi orang yang mengkritik kinerja presiden. Misalnya, ada seseorang yang mengkritik perekonomian dan menilai Jokowi tidak memiliki kemampuan.

Kejadian kartu kuning yang dilayangkan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Zaadit Taqwa terkait kinerja Jokowi juga disebut tidak masuk dalam pasal penghinaan.

"Itu tidak bisa diambil sikap. Itu masalah kritik," ujar Taufiqulhadi.

Akan tetapi, tambahnya, jika seseorang mengatakan presiden memiliki ibu dengan asal-usul yang tidak jelas, hal itu dapat dikategorikan sebagai penghinaan.

"Kalau menghina itu sesuatu yang tidak ada dasarnya dan tidak ada penjelas apapun. Hanya rasa kebencian saja. Tetapi kalau kritik itu ada penjelasannya," ujar anggota Panja dari fraksi NasDem itu.


Sementara, kata Taufiqulhadi, seorang warga negara dapat membela diri jika dibuat dalam kondisi tersudut oleh presiden dan lingkungannya. Kejadian semacam itu disebut tidak akan diproses.

"Jadi tidak bisa disamakan. Itu berbeda sama sekali. Kita tidak boleh menghina. Masa kepala negara kita, kita hina?" katanya.

Pasal penyerangan presiden dan wakil presiden juga dianggap memiliki batasan yang jelas. Salah satunya penyerangan secara fisik yang langsung ditujukan kepada presiden maupun wakil presiden.

"Kalau tidak menyerang secara fisik tidak apa-apa. Melempar batu presiden akan diproses dengan pasal ini. Berbeda dengan penyerangan fisik seseorang kepada orang lain," ujarnya.

Taufiqulhadi mengatakan, penjelasan itu nantinya akan dibahas di rapat kerja tingkat Panja RKUHP. Sebelumnya, tim perumus RKUHP telah menunda pembahasan beberapa pasal, termasuk pasal penghinaan presiden untuk dilanjut di tingkat panja.


Dalam pembahasan di tingkat Timus RKUHP, ayat (1) pasal 239 RKUHP disebutkan setiap orang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp500 juta).

Ayat (2) menyebut tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pada 2016, MK membatalkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. MK menilai, pasal itu bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang rentan manipulasi. (pmg)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER