Jakarta, CNN Indonesia -- Dengan wajah tertunduk, Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra keluar dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis (1/3). Sementara ayahnya, Asrun, mengekor di belakangnya.
Keduanya berjalan membelah puluhan wartawan mencecarnya dengan sejumlah pertanyaan. Tak satupun jawaban keluar dari mulut keduanya. Asrun hanya sedikit menyunggingkan senyum.
Adriatma dan Asrun keluar dengan mengenakan rompi warna oranye, pakaian khas tahanan KPK. Anak dan ayah ini memang langsung ditahan KPK setelah terjaring operasi tangkap tangan sehari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka menjadi tersangka kasus suap dalam pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kota Kendari tahun 2017-2018.
Saat langkah mereka terhentik di tengah kerumunan wartawan, tiba-tiba ada tiga orang yang datang menghampiri mereka sambil menangis. Ketiga orang tersebut diduga pendukung Asrun. Ketiganya meraung sembari memanggil nama Asrun.
"Pak Asrun, Pak Asrun, Pak Asrun," teriak ketiga orang tersebut secara bersamaan sambil terus meraung.
 Mantan Wali Kota Kendari Asrun ditahan karena terjerat kasus suap. Bersama anaknya yang kini jadi Wali Kota Kendari, ia kini jadi tersangka di KPK. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak) |
Asrun merespon tangis ketiga orang tersebut dengan senyuman, sedangkan Adriatma hanya terdiam. Adriatma dan Asrun pun terus berjalan masuk ke dalam mobil tahanan yang menjemputnya.
Meskipun ayah dan anak itu telah masuk ke dalam mobil tahanan, ketiga orang yang menangis histeris itu masih memanggil-manggil nama Asrun. Bahkan dua orang meratap di kaca pintu sebelah kiri mobil tahanan.
Selain Asrun dan Adriatma, KPK juga menetapkan dua orang lain sebagai tersangka suap. Keduanya adalah mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kendari Fatmawati Faqih dan Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah.
Asrun mantan Wali Kota Kendari dua periode 2007-2017. Jabatan tersebut dilanjutkan anaknya, Adriatma yang memenangi Pilkada tahun lalu.
Tahun ini Asrun dicalonkan menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara dengan diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Hanura, dan Partai Gerindra. Kader Partai Amanat Nasional itu berpasangan dengan Hugua, kader PDIP.
Uang suap Rp2,8 miliar yang diterima keduanya ditengarai untuk membiayai kampanye di Pilgub. Namun setelah mengenakan baju oranye itu, Asrun tak akan bisa berkampanye untuk mengajak warga Sultra untuk memilihnya.
KPK sebelumnya tegas menyatakan tersangka yang ditahan tak akan diizinkan untuk berkampanye.
(sur)