Jakarta, CNN Indonesia -- Pengurus daerah Partai Gerindra Jawa Barat dan Banten telah mendeklarasikan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai calon presiden 2019.
Namun, hingga kini Prabowo dan dewan pengurus pusat partai berlambang kepala burung garuda itu belum memberikan kepastian untuk maju bertarung pada Pilpres 2019.
Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno berpendapat DPP Gerindra, dan juga Prabowo Subianto sedang berhitung tentang kekuatan politiknya sebelum resmi mendeklarasikan kandidat Capres di pemilu 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Prabowo dan Gerindra sedang banyak pertimbangan, untuk mengusung kembali Prabowo atau tidak, ini yang sedang dilakukan dalam waktu dekat. Pencapresan kan sebelum Agustus," kata Adi saat dihubungi
CNN Indonesia.com, Jumat (16/3).
Adi menilai ada empat faktor yang menjadi penyebab deklarasi calon presiden dari Gerindra tak kunjung dilakukan.
Pertama, kata Adi, internal DPP Gerindra dan Prabowo kemungkinan besar sedang mengevaluasi persoalan rekam jejak mantan Danjen Kopassus itu. Sebab, Prabowo pernah kalah dalam dua kontestasi Pilpres sebelumnya.
Gerindra dan Prabowo dinilai akan berbenah dan tak akan mengulangi kekalahan yang sama di Pilpres 2019 mendatang.
Prabowo mengalami kekalahan pertamanya pada kontestasi Pilpres sejak tahun 2009 lalu. Saat itu, ia menjadi calon wakil
presiden berpasangan dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri sebagai capres. Pasangan ini hanya mendapatkan 26,79 persen suara kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono keluar sebagai pemenang dengan 60.8 persen suara sah nasional.
Sedangkan di Pilpres 2014 lalu, Prabowo yang maju sebagai capres berpasangan dengan Hatta Rajasa juga dikalahkan oleh pasangan Jokowi-Jusuf Kalla yang meraih 53.15 persen suara sah nasional.
"Jadi mereka ini kan sedang berpikir soal kredibilitas pak Prabowo yang beberapa kali mencalonkan diri tapi kalah. Jadi dia sedang mengkalkulasi plus minus apa yang harus dilakukan," kata Adi.
Pertimbangan kedua, kata Adi, Prabowo dan Gerindra kemungkinan sedang menimbang para kandidat lain yang memiliki kapasitas dan peluang menang lebih besar di Pilpres 2019.
Kandidat ini, tambah Adi, kemungkinan bisa dicalonkan sebagai capres pengganti Prabowo atau sebagai cawapres jika Prabowo kembali dicalonkan sebagai capres.
Menurut Adi, kandidat itu nantinya diharapkan bisa mendongkrak suara dan mengalahkan calon presiden yang telah memastikan maju di 2019, Joko Widodo.
"Jadi kalau dia deklarasi capres cepat-cepat, itu sama saja menutup pintu bagi kandidat lain yang punya potensi bisa mengalahkan Jokowi untuk didukung oleh Gerindra, tapi hal ini memang butuh kebesaran hati yang besar dari Prabowo juga karena dia harus rela tak jadi capres," kata dia.
Lalu pertimbangan lainnya, Gerindra dinilai masih berkonsolidasi untuk menguatkan logistik partai dan modal koalisi parpol pendukung agar kandidat capres/cawapres yang diusungnya dapat memenangkan kontestasi Pilpres 2019 mendatang.
Adi menilai status Gerindra sebagai parpol di luar pemerintahan tak memiliki 'kemewahan' ketimbang partai pendukung pemerintah lainnya untuk mengakses sumberdaya baik politik, ekonomi dan lainnya.
"Jadi mereka memang enggak punya kemewahan untuk mengakses sumberdaya dan fasilitas publik ya, kurang logistik mereka itu," kata dia.
Selain itu, kata Adi, modal parpol pendukung yang dimiliki Gerindra saat ini hanya PKS. Jika kedua parpol tersebut berkoalisi, syarat ambang batas pencalonan presiden di Pemilu 2019 sebesar 20 persen telah terpenuhi.
Akan tetapi, Adi menilai, kedua parpol tersebut diprediksi akan kesulitan dan kewalahan untuk memenangkan capres/cawapres yang diusung di Pilpres 2019 mendatang.
"Mesin politiknya kurang, dia (Gerindra) harus menggandeng PKS dan menggandeng partai lain juga agar peluang menangnya mudah," ujar Adi.
Pertimbangan terakhir, kata Adi, Gerindra sengaja menggunakan momentum ini untuk menarik simpati masyarakat dengan cara belum mendeklarasikan nama capres sehingga nama Prabowo sebagai simbol partai dan Gerindra sendiri terus menerus diingat masyarakat.
Hal ini bertujuan sebagai strategi politik agar Gerindra dan Prabowo terus-menerus menjadi perhatian publik yang berdampak pada terdongkraknya elektabilitas dirinya dan Gerindra secara bersamaan untuk modal di Pilpres 2019.
"Saya menduga biar ingatan publik ke pak Prabowo yang digadang akan melawan Jokowi terus diingat, ini justru jadi kampanye gratis dan jadi media daring yang terus dibicarakan dan diberitakan," kata Adi.
'King Maker'Sementara peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati menilai momentum Prabowo Subianto untuk kembali menjadi calon presiden dalam pemilihan presiden 2019 sudah lewat.
Wasisto mengatakan Prabowo sudah sadar bahwa faktor usia dan elektabilitasnya yang rendah dibandingkan Jokowi membuatnya sedang menimbang ulang ingin maju sebagai Capres.
"Dia masih meimbang dukungan dan usia, kita tak bisa memungkiri usianya makin tua dan sebenarnya elektabilitasnya belum meningkat juga," kata Wasisto saat dihubungi
CNN Indonesia.com.
Wasisto menjelaskan, jika Prabowo tetap ngotot maju sebagai Capres, maka peluang untuk menang di pilpres 2019 mendatang lebih kecil dibandingkan Jokowi. Pasalnya, Jokowi memiliki kekuatan elektabilitas dan dukungan lebih besar lantaran sebagai capres petahana.
"Hasil survei hampir dikatakan rata-rata 50 persen ke atas Jokowi, belum lagi dukungan lainnya, nah sosok lrabowo jadi masih rada ragu maju atau tidaknya," tambah dia.
Oleh karena itu, Wasisto berpendapat, Prabowo seharusnya mulai berpikir untuk menjadi orang yang melahirkan kandidat lain penantang Jokowi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Mneurut Wasis, hal itu senada seperti yang dilakukan oleh Megawati pada Pilpres 2014 lalu yang justru mengusung Jokowi ketimbang dirinya maju kembali sebagai Capres yang peluang untuk menang sangat kecil.
"Jadi sudah seharusnya dia jadi semacam patron seperti yg dilakukan Megawati di 2014 lalu, jadi king maker melahirkan kandidat," kata Wasisto.
Wasisto melihat pengalaman Prabowo sebagai
king maker justru lebih berhasil ketimbang ia maju sebagai capres/cawapres di perhelatan Pilpres sebelumnya.
Misalnya, Prabowo berhasil memenangkan pasangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama di Pilkada DKI 2012 dan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Pilkada DKI 2017 lalu.
"Jadi jika ingin kontribusi buat bangsa kan tidak harus sebagai presiden, tapi bisa saja sebagai patron yang mempromosikan orang jadi presiden," kata Wasisto.
Dari pengalaman itu, Wasisto berharap dari tangan Prabowo bisa melahirkan pemimpin Indonesia yang memiliki wajah dan ide yang baru ketimbang memasang tokoh-tokoh lama sebagai capres kembali.
"Prabowo memang masih menimbang, kalau jadi
king maker siapa calon yang dia ajukan berpeluang menang lebih besar, masih mencoba respon publik," kata Wasisto.
(ugo)