Jakarta, CNN Indonesia -- Fraksi Gerindra menyatakan pemerintah harus tetap menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) jika ingin mengatur pergantian calon kepala daerah dalam Pilkada serentak 2018 yang jadi tersangka. Jika tidak bisa, maka Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada harus direvisi.
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan penerbitan Perppu atau revisi UU Pilkada harus dilakukan lantaran UU Pilkada saat ini tidak mengatur usulan pergantian tersebut. Karenanya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) saja ia nilai tak cukup untuk mengatur tentang pergantian calon kepala daerah yang jadi tersangka.
"KPU kan harus punya dasar, dasarnya kan revisi UU. Tidak cukup PKPU, harus Perppu (jika UU Pilkada tidak direvisi)," ujar Riza saat dihubungi di Jakarta, Selasa (27/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Riza menjelaskan pembuatan PKPU harus berdasarkan ketentuan yang ada di dalam UU Pilkada. KPU akan melanggar hukum jika pembuatan PKPU menyimpang dari ketentuan yang ada hanya untuk mengakomodir pengaturan soal pergantian calon kepala daerah yang jadi tersangka.
Riza secara pribadi menyayangkan pemerintah, melalui Mendagri Tjahjo Kumolo kembali mewacanakan agar pergantian calon kepala daerah yang jadi tersangka diatur dalam PKPU. Padahal, ia mengklaim usulan tersebut pernah dibahas dalam proses pembuatan UU KPU beberapa waktu lalu, namun tidak ditindaklanjuti.
Pemerintah, kata dia ,terkesan tidak mengantisipasi masalah tersebut dan tidak memperhatikan minimnya waktu pembahasan jelang pelaksanaan Pilkada serentak 2018 yang akan berlangsung pada Juni mendatang.
"Sekarang baru mencari solusi terkait dengan masalah ini. Kalau ini dilakukan waktunya sudah tinggal tiga bulan lagi sekalipun dimungkinkan," ujarnya.
Selain itu, Riza juga memprediksi realisasi usulan Mendagri itu tidak akan mudah diwujudkan. Sebab, ia melihat pasangan calon dan partai pendukung belum tentu sepakat dengan adanya pergantian calon yang terjerat tindak pidana jika perkaranya belum dinyatakan berkekuatan hukum tetap.
"Itu poin-poin yang harus diperhatikan," ujar Riza.
Di sisi lain, Riza menduga usulan dimasukkan ke dalam PKPU itu diwacanakan lantaran banyak kepala daerah yang terjerat korupsi diusung oleh partai koalisi pemerintah. Jika dugaan itu benar, Riza merasa hal itu sangat disayangkan karena bertentangan dengan asas persamaan hukum.
"Jangan sampai nanti masyarakat melihat kalau kebijakan ini keluar kerena ada pihak partai penguasa yang dirugikan. Kalau oposisi tidak keluar. Jangan sampai nanti ada kesan itu, kan tidak baik," ujarnya.
Terpisah Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyatakan partainya tidak mempermasalahkan usulan pemerintah tersebut. Namun PKS berharap pergantian dilakukan satu kali.
"Artinya jika kembali tersangka tidak ada pergantian kembali. Pada saat yang sama KPK terus bekerja tanpa ada hambatan," ujar Mardani.
Lebih dari itu, Mardani menegaskan PKS tidak dalam posisi pengusul jika aturan tersebut jadi dibuat dalam PKPU.
"PKS pada posisi tidak mengendorse, tapi jika ada usulan itu maka pastikan cuma opsi satu kali ganti," ujarnya.
Sebelumnya, Mendagri jahjo Kumolo setuju apabila KPU mengeluarkan PKPU baru tentang pergantian calon kepala daerah yang terjerat masalah hukum di tengah-tengah gelaran Pilkada serentak 2018. Hal ini disampaikannya karena pemerintah tak akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait pergantian calon kepala daerah yang jadi tersangka.
"Kemendagri prinsipnya mendukung langkah KPU untuk mengeluarkan PKPU," ucap Tjahjo melalui pesan singkat kepada wartawan, Senin (26/3).
Tjahjo mengatakan penerbitan PKPU baru cenderung lebih rasional daripada menerbitkan Perppu untuk mengatasi masalah maraknya calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka oleh penegak hukum, termasuk KPK. Penolakan usulan Perppu itu, kata Tjahjo, merujuk dari parameter objektif sebagaimana dimaksud putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138 tahun 2009.
(osc)