Ikhtisar Pulau Pari: Konflik Lahan sampai Tumpahan Minyak

Tiara Sutari | CNN Indonesia
Sabtu, 14 Apr 2018 20:33 WIB
Kasus Pulau Pari mencuat lagi seiring laporan Ombudsman soal maladministrasi dalam penerbitan sertifikat. Konflik kepemilikan lahan ini terjadi sejak 2014.
Kasus-kasus Pulau Pari mencuat kembali seiring laporan pemeriksaan Ombudsman soal maladministrasi dalam penerbitan sertifikat. (ANTARA FOTO/R. Rekotomo)
Jakarta, CNN Indonesia -- "Ya kami sampai sekarang masih berusaha, kami lapor kemana-mana. Kami minta keadilan."

Edy Mulyono, Ketua RT di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta mengatakan hal itu dengan nada suara yang terdengar lemah dan gusar saat ditelepon CNNIndonesia.com, Rabu (11/4) pagi WIB.

Lewat jabatan yang diamanatkan kepadanya itu, Edy memiliki tanggung jawab pada warga dan keluarganya yang saat ini terkatung-katung mengenai tempat tinggal. Mereka terancam gusuran akibat privatisasi yang dilakukan PT Bumi Pari Asri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami sekarang sudah dibantu Ombudsman. Kami juga sudah minta pertolongan dari pihak Pemprov (DKI Jakarta), tapi Pemprov katanya mau mengecek dulu," kata Edy.


Cerita ini berawal dari 2014 silam, di mana PT Bumi Asri menyebutkan memiliki sebagian besar lahan di pulau yang berada di gugusan selatan Kepulauan Seribu. Permasalahnnya sendiri bermula saat warga yang telah menetap di Pulau itu didatangi pihak PT Bumi Pari Asri yang mengaku memiliki sebagian besar lahan di Pulau itu. PT Bumi Pari Asri juga mengaku akan menjadikan Pulau Pari sebagai destinasi wisata yang lebih layak dari saat ini.

"Ya, mereka mau mendirikan bangunan di sana, mau mempercantik Pulau. Itu kata mereka. Dan, kami harus hengkang," ujar Edy bercerita kepada CNNIndonesia.com.

Sayangnya, diakui Edy, warga tak memiliki dasar kuat dalam perebutan lahan ini. Di sisi lain, pihak PT Bumi Pari diduga melakukan maladministrasi terkait sertifikat kepemilikan lahan yang mereka tunjukkan.

"Mereka mengaku membeli lahan dari warga asli Pulau Pari yang sekarang sudah pindah ke Tidung, tapi sertifikat yang mereka keluarkan ternyata maladministrasi kan. Kami juga akui, kalau kami memang tidak ada bukti-bukti surat tapi kami punya bukti kami bayar," kata Edy.


PT Bumi Pari Asri adalah perusahaan swasta yang disebut-sebut memiliki 90 persen lahan di Pulau itu. Namun, hal itu pun kemudian dibantah PT Bumi Pari Asri. Perusahaan itu mengaku mengaku hanya memiliki beberapa bagian lahan di pulau itu, sebab lahan-lahan di sana kebanyakan dimiliki orang-per orang saja.

CNNIndonesia.com mencoba mengonfirmasi kembali, namun PT Bumi Pari Asri tak memberikan komentar banyak. Saat dihubungi juru bicara PT Bumi Pari Asri Ben Yitzhak mengaku sedang mengurus semua kelengkapan surat, dan belum bisa memberi komentar apapun.

"Nanti kami sampaikan rilis, untuk saat ini tidak bisa komentar," ujar Ben, Rabu (11/4).

CNNIndonesia.com berupaya kembali mengontak pihak PT Bumi Pari Asri untuk meminta komentar dan pers rilis yang dijanjikan, namun sampai Sabtu (14/4) pagi, nomor telepon yang dihubungi tidak tersambung dan pesan singkat yang dikirim tak dibalas.

Ikhtisar Pulau Pari: Konflik Lahan hingga Tumpahan MinyakPantai Pasir Perawan adalah obyek wisata andalan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. (ANTARA FOTO/R. Rekotomo)

Temuan Ombudsman

Konflik di pulau yang menjadi salah satu lokasi wisata andalan favorite Kepulauan Seribu itu mencuat lagi usai pemeriksaan Ombudsman. Pada Senin, 9 April 2018, Plt Kepala Perwakilan Ombudsman DKI Jakarta Dominikus Dalu memaparkan pihaknya ada penerbitan 62 Sertifikat Hak Milik (SHM) dan 14 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di Pulau Pari yang tidak sesuai prosedur. Ia mengatakan itu berdasarkan pemeriksaan Ombudsman selama satu tahun per 29 Maret 2017

Untuk penerbitan 62 SHM Ombudsman menemukan penerbitan yang justru tidak mengikuti prosedur. Prosedur yang dimaksud adalah ketentuan Pasal 18 Ayat 1, 2, 3, dan 4 serta Pasal 26 Ayat 1, 2, dan 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sementara untuk SHGB, Dominikus mengatakan belasan yang diterbitkan itu telah bertentangan dengan ketentuan dalam tiga undang-undang dan satu peraturan daerah.

Adapun yang dilanggar adalah pasal 6, 7, dan 13 Ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Pasal 2 Huruf g Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Ketentuan Pasal 10 Ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan Pasal 171 Ayat 1 dan ayat 2 huruf e Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.

Temuan Ombudsman itu disebutkan Dominikus telah diserahkan kepada Pempov DKI Jakarta, Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta, dan Inspektorat Jenderal Kementerian BPN RI. Mereka diberikan waktu selambatnya 30 hari untuk mengaudit, mengevaluasi, serta memberikan jawaban kepada Ombudsman.

Dikonfirmasi terpisah CNNIndonesia.com, pada 10 April 2014, Kakanwil BPN DKI Jakarta Muhammad Najib Taufieq mengaku sedang membicarakan hasil temuan ombudsman itu secara internal bersama dengan pihak Kanwil BPN Jakarta Utara.

"Kami akan mempelajari dulu, menginvestigasi tahapan pemberian sertifikat itu, sesuai enggak dengan temuan mereka. Kita kan enggak ada masalah," kata pria yang dilantik sebagai Kakanwil BPN DKI Jakarta pada 16 Agustus 2016 tersebut.

Memejahijaukan Nelayan Pulau Pari

Di tengah sengketa lahan itu, sempat mencuat isu kriminalisasi warga nelayan Pulau Pari. Pada 11 Maret 2017, Polres Kepulauan Seribu menangkap tiga nelayan Pulau Pari yakni Mustagfhirin, Mastono, dan Bahrudin dengan tuduhan melakukan pungli Rp5.000 kepada wisatawan di pulau tersebut. Akibat penangkapan tersebut, puluhan nelayan asal pulau Pari mendatangi kantor Ombudsman menuntut perhatian pemerintah atas kasus tiga nelayan yang diduga mengalami kriminalisasi.

"Teman kami dikriminalisasi, ditangkap karena dianggap mencuri di tanah sendiri," kata Edy yang saat itu menjadi salah satu dari nelayan pulau Pari yang mendatangi Ombudsman di Jakarta, 24 Maret 2017. "Pantai ini dibuka dan dikelola oleh masyarakat, maka untuk menutup biaya operasional itu, wisatawan yang datang dikenakan biaya Rp5.000."

Tiga nelayan itu akhirnya diputuskan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dalam vonis yang dibacakan hakim PN Jakarta Utara pada 7 September 2017 itu para nelayan tersebut dipidana penjara enam bulan.

Ikhtisar Pulau Pari: Konflik Lahan hingga Tumpahan MinyakMastono (tengah), Bahrudin (kiri) dan Mustaqfirin (kanan) , tiga nelayan yang menjadi terdakwa kasus lahan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu saat menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin, 5 Juni 2017. (CNN Indonesia/Safir Makki)


Kabar Tumpahan Minyak

Bukan hanya soal sengketa kepemilikan lahan dan kriminalisasi saja. Terkini kegaduhan yang terjadi di Pulau Pari pun meluas ke persoalan lingkungan yakni tumpahan minyak. Itu bermula dari penemuan bagian perairan yang pekat kehitaman dan mengandung minyak di salah satu sisi pantai Pulau Pari.

Pemprov DKI pun segera turun tangan untuk meneliti temuan minyak tersebut di Pulau Pari. Kesimpulan sementara, Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup Kepulauan Seribu Yusen Hardiman menduga temuan minyak tumpah itu adalah air balas, bukan kebocoran minyak seperti yang terjadi di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur pekan lalu.

"Ini kemungkinan balas. Balas itu air yang dibuang oleh kapal-kapal, dan biasanya memang air ini mengandung minyak, oli, solar bekas. Dan, ya memang berbahaya ini kan jenis limbah B3," kata Yusen yang juga menyatakan pihaknya telah melakukan pembersihan.

Ikhtisar Pulau Pari: Konflik Lahan hingga Tumpahan MinyakAir berwarna hitam pekat yang diduga tumpahan minyak di salah satu sisi pantai di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. (CNN Indonesia TV)

Untuk saat ini Yusen pun memastikan bahwa kawasan Pantai di Pulau Pari telah bersih dan aman. Meski begitu, Yusen mengaku pihaknya pun akan terus mengecek keadaan Pantai Pulau Pari agar hal sama tidak terjadi lagi. Sampel dari temuan air hitam pekat itu kemudian dikirim ke Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri.

Hal itu diungkapkan Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Ali Maulana Hakim pada 11 April 2014, "Ini biar tahu minyak berasal dari mana. Dugaan kita ini kan balas." (kid)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER