Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti akan menelusuri dugaan praktik perdagangan orang dan perbudakan 20 ABK Indonesia di kapal STS-50. Kapal tersebut menjadi buronan Interpol yang kini sudah ditangkap aparat.
Susi yang juga Komandan Satgas 115 Pemberantasan IUU Fishing itu, mengatakan tim gabungan akan bekerja sama dengan International Organization for Migration (IOM) untuk terus menelusuri dugaan tersebut.
"Apabila ditemukan indikasi praktik perdagangan orang, maka kami akan memproses secara hukum agen penyalur PT GSJ berdasarkan aturan perundangan," kata Menteri Susi dalam jumpa pers di kantor KKP, Jakarta, seperti dikutip
Antara, Rabu (18/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Susi, tim gabungan akan terus menelusuri dugaan pelanggaran STS-50 di Indonesia berdasarkan dokumen dan informasi elektronik yang didapatkan dari telepon genggam dan laptop yang ditemukan di atas kapal asing tanpa bendera tersebut.
Pada tanggal 11-12 April 2018, tim gabungan TNI AL, KKP, dan Polri di bawah koordinasi Satgas 115 telah memeriksa kapal STS-50 atas dugaan pelanggaran hukum terkait perdagangan orang terhadap 20 orang ABK WNI.
Dalam memeriksa dugaan perdagangan orang itu, tim gabungan dibantu oleh IOM. Tim gabungan juga bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk memeriksa kemungkinan kapal membawa narkotika.
Setelah melakukan wawancara terhadap 20 orang ABK WNI, ditemukan fakta bahwa mereka berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Mereka disalurkan oleh agen penyalur PT GSJ yang diduga mengetahui sejarah operasi ilegal kapal STS-50.
Sebelum diberangkatkan, mereka diwajibkan menandatangani perjanjian kapal laut (PKL) yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Inggris, namun tidak diizinkan membaca seluruhnya dan diminta juga untuk membayar jutaan rupiah sebagai biaya pengurusan.
Ternyata pihak PT GSJ tidak memberi informasi secara benar kepada ABK karena sebelumnya dijanjikan akan dikirim ke kapal Korea Selatan, namun pada kenyataannya dikirim ke kapal Rusia.
Berdasarkan hasil wawancara, para ABK dijanjikan gaji sekitar US$360 per bulan. Namun perjanjiannya, gaji para ABK selama dua bulan pertama ditahan sebagai jaminan penyelesaian kontrak. Pun demikian, jumlah yang diterima keluarga ABK juga lebih kecil dari seharusnya, yaitu sekitar Rp4,5 juta per bulan.
Para ABK juga dikenakan biaya administrasi sebesar Rp2,5 juta yang dibayarkan selama lima bulan atau potongan sebesar Rp500 ribu per bulan. Apabila para ABK tidak bekerja di atas kapal, mereka diancam pemotongan gaji hingga sekitar US$25.
Kapal STS-50 sebelumnya pernah ditahan dan diperiksa pemerintah China pada tanggal 22 Oktober 2017 sebelum melarikan diri tanpa membawa dokumen apa pun. Kapal ini pada 18 Februari 2018 juga ditahan dan diperiksa oleh pemerintah Mozambik sebelum kembali melarikan diri di hari yang sama.
Semenjak kapal tertangkap pertama kali di Tiongkok di mana paspor serta buku pelaut disita oleh petugas pemeriksa, para ABK sudah meminta pulang dan melakukan mogok kerja. ABK WNI sempat menghubungi PT GSJ selaku agen penyalur untuk dipulangkan, namun ditolak dan diancam pembayaran denda kontrak sebesar Rp6 juta.
Kapten kapal STS-50 juga mengatakan bahwa apabila para ABK menolak bekerja, maka status mereka berubah menjadi penumpang dan harus membayar US$25 per hari selama tinggal dan berada di atas kapal.
Pemerintah melalui Satgas 115 juga akan terus berkoordinasi dengan sejumlah mitra internasional seperti Interpol, Australia, Selandia Baru, Togo, China dan Mozambik untuk menelusuri dalang dan pemegang saham dari kapal STS-50.
Hal tersebut, lanjutnya, agar berbagai pihak yang ditelusuri itu dapat ditindak dengan tegas dan tuntas berdasarkan hukum yang berlaku.
(osc)