Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut Achmad Taufiqoerrochman menduga sejumlah awak kapal STS-50 yang diamankan Pemerintah Indonesia pada Jumat (6/4) merupakan korban perdagangan manusia.
Kapal buronan Interpol itu diduga melakukan kejahatan lintas negara sejak lama dan terorganisasi (
transnational organized fisheries crime).
Kecurigaan tentang kasus perdagangan manusia itu muncul ketika ditemukan beberapa dokumen palsu milik kapal tersebut, salah satunya terkait jumlah anak buah kapal (ABK).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satu contoh tadi informasi kru hanya 20 orang, enam [warga negara] Rusia, 14 [warga negara] Indonesia. Tapi setelah kita cek, di situ ada 30 orang. 10 [warga negara] Rusia, kemudian ada 20 WNI," kata Achmad pada jumpa pers di kediaman Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Jakarta Selatan, Sabtu (7/4).
Sebelumnya, Achmad mengatakan pernah menangkap sebuah kapal lain yang ternyata memiliki empat orang ABK asal Indonesia dan tak pernah dibayarkan gajinya.
Orang-orang ini merupakan korban perdagangan manusia, karena mereka bekerja tanpa gaji dan identitas.
"Jadi pada saat kita tangkap, yang empat orang itu langsung sujud syukur, karena ditangkap di Indonesia, bisa pulang," katanya.
Selaras dengan Achmad, Susi pun menduga tidak semua dari 20 WNI yang bekerja sebagai ABK di kapal STS-50 itu terdaftar resmi sebagai pekerja kapal.
Jika benar demikian, maka orang-orang yang tidak terdaftar ini dapat dikatakan sebagai korban perdagangan manusia.
"Berarti kalau tidak terdaftar, mereka sebagai manusia sudah tidak punya identitas. Kalau tidak punya identitas, ya pasti tidak punya hak apa-apa lagi," ujar Susi.
Susi menjelaskan, kapal STS-50 merupakan kapal tanpa bendera kebangsaan (
stateless). Sebelum ditangkap di Indonesia, kapal ini pernah menggunakan delapan bendera, yaitu bendera Sierra Leone, Togo, Kamboja, Korea Selatan, Jepang, Mikronesia, Filipina, dan Namibia.
Selain melakukan penangkapan ikan secara ilegal, kapal STS-50 juga diduga telah melakukan pemalsuan dokumen kebangsaan kapal untuk menghindari pengawasan dan penegakan hukum.
Menurut Susi, kapal ini sebelumnya sudah pernah ditahan dan diperiksa di dua negara, yakni di Tiongkok pada 22 Oktober 2017, dan di Mozambik pada 18 Februari 2018. Namun, dalam kedua penahanan itu kapal STS-50 berhasil meloloskan diri di hari yang sama pada saat ditangkap.
(pmg)