Jakarta, CNN Indonesia -- Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin menyambut baik pengesahan revisi Perpres tentang
Rencana Aksi Nasional HAM oleh Presiden
Joko Widodo. Dia berharap upaya itu tetap dirawat supaya tidak terhenti di tengah jalan.
"Yang harus dipastikan adalah bagaimana setiap agenda dijalankan, apa kegiatannya, di mana, dan kapan, sehingga dampaknya bisa dirasakan oleh masyarakat," katanya kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (18/4).
Pada 10 April lalu, Presiden Joko Widodo meneken Perpres Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 75 Tahun 2015 tentang RANHAM Tahun 2015-2019. Perpres ini mulai berlaku sehari setelahnya, ketika diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
RANHAM merupakan dokumen yang memuat sasaran dan fokus prioritas pemerintah demi menegakkan HAM.
Perpres ini merupakan hasil revisi peraturan sebelumnya guna memastikan RANHAM berjalan berkesinambungan dengan pemenuhan, perlindungan, dan penegakan HAM.
Mengutip laman resmi Sekretariat Kabinet, Presiden melalui Perpres ini merevisi susunan Sekretariat Bersama RANHAM dengan melibatkan Kementerian Luar Negeri sebagai anggota.
Sekretariat Bersama RANHAM hanya beranggotakan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Salah satu hal penting diharapkan oleh Komnas HAM adalah pemerintah mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Amiruddin menyatakan Komnas HAM akan sangat mendukung jika pemerintah mau membereskan hal ini, karena pelanggaran HAM masa lalu adalah salah satu hal yang paling konkret dan dapat diukur.
"Kalau Komnas HAM diajak duduk dan membiarakan agenda itu, kami pasti mendukung. Karena kasus pelanggaran HAM masa lalu di Komnas HAM ulang tahunnya sudah 15 kali," ujarnya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani pun berharap pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang sudah lama mangkrak.
Lepas dari itu, Yati kecewa dengan isi Perpres Rencana Aksi HAM. Sebab pemerintah hanya menargetkan optimalisasi koordinasi terkait penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.
"Sudah ada hasil penyelidikan dari Komnas HAM, sekarang harusnya sudah sampai pada level penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Harusnya Presiden sudah mengeluarkan Keppres. Kenapa sudah 20 tahun masih koordinasi?," ujar Yati saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Menurut Yati, KontraS mendukung seluruh rencana aksi penegakan HAM yang akan dilakukan. Namun, ia menganggap rencana-rencana yang terkandung dalam Perpres itu malah tidak fokus kepada isu-isu HAM mendesak, seperti tentang pelanggaran HAM masa lalu, penghukuman kejam, hukuman mati, dan pemberantasan terorisme.
Yati menyebut pemerintah terkesan menghindari beberapa isu terkait HAM yang dapat menimbulkan kontroversi, dan hanya fokus pada isu-isu yang tidak berisiko. Seperti isu tentang perempuan, pendidikan, dan anak.
"Ada kesan pemerintah khawatir dengan isu-isu yang berisiko secara politik bagi penguasa, karena beberapa isu terkait dengan banyak pihak, termasuk di dalamnya aktor-aktor politik yang sekarang berkuasa," katanya.
Menurut Yati, hal ini tak lepas dari pengaruh tahun politik yang menyebabkan segala keputusan pemerintah harus ditimbang berdasarkan dampaknya terhadap elektabilitas penguasa.
"[Perpres RANHAM] sangat terkait [dengan keepntingan politik]. Semua sedang fokus mengamankan elektabilitas, bagaimana memenangkan pemilihan mendatang. Isu-isu yang dianggap tidak memberikan dukungan terhadap elektabilitas tidak dijadikan prioritas bagi pemerintah," ujarnya.
(ayp/gil)