Jakarta, CNN Indonesia -- "[Pencarian calon wakil presiden] Itu masih panjang. Kalau waktunya tiba, akan didiskusikan dengan partai pendukung dan relawan."
Itulah jawaban Presiden RI petahana Joko Widodo (Jokowi) saat didesak wartawan di Pangandaran, Jawa Barat, Selasa (24/4) seperti dikutip dari
Antara. Di sela kunjungan kerjanya ke wilayah pesisir selatan tersebut, para pewarta bertanya tentang siapa pendampingnya dalam Pilpres 2019 mendatang.
Ia menyatakan tak ingin kerjanya dalam memimpin pemerintahan direcoki urusan elektabilitas termasuk soal cawapres. Namun, di satu sisi, sejumlah elite koalisi pemerintahan telah rajin melontarkan asa mereka menjadi pendamping Jokowi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Golkar muncul dengan sang Ketua Umum Airlangga Hartarto, kemudian PPP pun muncul dengan sang Ketua Umum Romahurmuziy. Dan, yang paling terus terang serta vulgar menyampaikan hasratnya adalah Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar.
Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedillah Badrun menilai sikap Jokowi dan PDIP yang masih terus menerus menimbang dan tak kunjung mengumumkan calon wakil presiden menunjukan adanya kegamangan politik di internal partai tersebut.
"Mengapa Jokowi tak segera mengumumkan cawapres itu menunjukan kegamangan, sudah politik tingkat tinggi itu," kata Ubedilah saat dihubungi
CNNIndonesia.com Selasa (24/4).
 Presiden RI petahana Joko Widodo merupakan sosok dengan elektabilitas tertinggi dalam berbagai survey jelang Pilpres 2019. (CNN Indonesia/Christie Stefanie) |
Menjaga Momentum 2024Ubedillah berpendapat ada dua faktor yang membuat kegamangan politik antara Jokowi dan PDIP dalam memilih cawapres. Faktor pertama, Jokowi dan PDIP dibuat bingung oleh ulah para parpol koalisinya yang masing-masing berambisi mengajukan calonnya untuk mendampingi mantan Gubernur DKI Jakarta itu di Pilpres 2019.
Belum lagi ada nama lain seperti Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, Wiranto yang diusung Hanura dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang disodorkan Demokrat.
Menurut Ubedilah, kondisi ini jika tak dikelola dengan baik akan berisiko membuat koalisi tak solid. Itu pula yang membuat Ubedilah berpendapat Jokowi tersandera oleh parpol koalisinya sendiri.
"[Jika tak dikelola] bisa mengakibatkan semacam melemahnya soliditas di antara koalisi, karena kalau Cak Imin maju, belum tentu Airlangga terima, Romi maju belum tentu Cak Imin menerima, seterusnya gitu," kata Ubedillah.
Faktor lainnya, kata Ubedillah, peran Ketua Umum PDIP Megawati sebagai 'aktor kunci' di tubuh partai itu pun belum memberikan jawaban, serta rekomendasi yang tegas untuk memutuskan siapa yang pantas menjadi cawapres Jokowi.
Ia menilai Jokowi tak bisa 'berjalan sendiri' tanpa adanya 'restu' Megawati dalam menentukan tokoh yang layak untuk mendampinginya di Pilpres 2019.
"Kalau kayak begini, tentu Jokowi enggak bisa jalan sendiri [menentukan cawapres pilihannya], kalau jalan sendiri Jokowi malah enggak bisa nyapres," kata dia.
Di satu sisi, Ubedillah menilai Megawati tak ingin partainya kehilangan momentum andai kembali berhasil memenangi pilpres 2019. Ketika Jokowi tak bisa kembali dicalonkan pada Pilpres 2024, Ubedillah mengatakan Megawati partainya juga bisa memenangi pemilu pada tahun tersebut.
"Karena dia masih berpikir. Enggak mungkin juga ngasih cawapres ke Cak Imin misalnya, sama saja memberikan karpet merah buat dia [Cak Imin] di 2024. Jadi enggak mau kehilangan momentum ke depannya," kata Ubedillah.
Komunikasi Politik Parpol KoalisiIa juga mengkritik peran Megawati sebagai pemimpin koalisi Jokowi yang dinilai kurang melakukan komunikasi yang intens dengan parpol koalisi pendukung Jokowi lainnya.
Padahal, hal itu berguna untuk mencairkan suasana politik sehingga dapat menemui jalan terbaik bersama yang berguna bagi kepentingan politik PDIP maupun parpol lainnya.
Salah satu dampaknya, Ubedillah memprediksi ada kemungkinan koalisi Jokowi akan pecah dan ada parpol yang bakal menyebrang ke poros lainnya di Pilpres 2019.
Hal itu tak lepas dari adanya ego pragmatisme politik yang telah ditunjukan secara vulgar oleh masing-masing partai pendukung Jokowi melalui 'adu ngotot' sebagai cawapres.
"Didalam politik ada kemungkinan, sebab masing-masing parpol koalisi mengingunkan jadi cawapres. Kalo ego pokitik pragmatisnya seperti itu, bahaya ya bagi koalisi, bisa jadi wapresnya malah Puan [Maharani], itu bisa aja terjadi," kata dia.
Jika masalah cawapres Jokowi itu dibiarkan berlarut-larut hingga mendekati masa pendaftaran pasangan capres-cawapres pada Agustus mendatang, Ubedilah menilai bakal menjadi bumerang dan muncul distrust dari parpol pendukung terhadap Jokowi.
Soal komunikasi koalisi pendukung Jokowi, Pada Senin (23/4), Romahurmuziy mengisyaratkan parpol-parpol koalisi akan membicarakan soal cawapres ini setelah proses Pilkada 2018 yang masa pencoblosannya pada 27 Juni mendatang.
(kid)