Jakarta, CNN Indonesia -- Aksi
212 yang digelar pada 2 Desember 2016 berujung pada sejumlah perkara yang dinilai sebagai kriminalisasi ulama. Hingga kini sejumlah tersangka yang ditetapkan dalam kasus itu tak kunjung diadili.
Sejumlah kasus itu seperti dugaan tindakan makar yang menjerat sepuluh orang tersangka, yakni Sri Bintang Pamungkas, Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Rachmawati Soekarnoputri, Eko Santjojo, dan Alvin Indra, jalan di tempat. Hingga saat ini mereka masih menyandang status sebagai tersangka.
Tidak hanya saat Aksi 212, menjelang Aksi 313 polisi pun menangkap dan menahan Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al-Khaththath atas dugaan makar. Polisi kemudian menangguhkan penahanan karena penyidik beralasan Al-Khaththath tidak akan menghilangkan barang bukti serta ada jaminan dari istri dan keluarga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penetapan tersangka pun menjerat Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dengan dugaan materi pornografi. Selang beberapa bulan usai ditetapkan tersangka, Rizieq pun pergi ke Arab Saudi dan belum kembali hingga kini.
Rizieq sampai saat ini masih menyandang status tersangka. Polisi mengklaim masih mengusut perkaranya dan menunggu Rizieq kembali ke Indonesia buat melanjutkan kasus itu.
Persaudaraan Alumni 212 belum lama ini mengutus Tim 11 Ulama menemui Presiden
Joko Widodo di Istana Bogor, Minggu (22/4). Dalam pertemuan itu, mereka membahas kasus dugaan kriminalisasi ulama.
Pengamat Hukum Pidana Muzakir mengatakan sejumlah perkara seperti dugaan makar dan pornografi seharusnya secepat mungkin untuk maju ke tahap peradilan. Hal itu buat membuktikan apakah terdapat tindak pidana seperti yang disangkakan polisi atau tidak.
Menurut dia, jika memang penyidik tidak mampu menyelesaikan kasus itu, sebaiknya segera dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Pun dalam kasus dugaan pornografi menjerat Rizieq, dikatakan Muzakir, penyidik seharusnya melengkapi berkas perkara. Namun, jika penyidik merasa tidak mampu memenuhi hal itu maka sebaiknya menerbitkan SP3.
"Jadi begini namanya itu kasus sudah masuk ranah hukum pidana, tuduhannya baru sepihak pada penyidik saja, belum ada diuji kepada publik, kepada di hadapan hukum. Jadi ini menjadi masalah jangan sampai nanti di kemudian hari terjadi orang digebukin dulu, diperiksa dulu, nanti nunggu bargaining politik," ujarnya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (26/4).
Muzakir menilai penetapan Rizieq dan Firza Husein sebagai tersangka tidak memenuhi unsur pidana. Hal itu karena jika keduanya benar saling mengirimkan konten pornografi, mereka berada dalam ranah privasi.
"Sementara orang yang mengunggah di media sosial tidak dipidana, dibiarkan saja dan tidak dicari, tidak dijadikan DPO," ujarnya.
"Kalau Jokowi bargaining politik mengenai hal ini menurut saya membiaskan tindakan sewenang-wenang itu sebagai alat bargaining, ini tidak benar menurut saya," katanya.
 Pertemuan Jokowi dengan PA 212 di Bogor, Minggu (22/4) dinilai sarat kepentingan politik. (Dok. Istimewa). |
Begitu juga dengan kasus dugaan makar. Muzakir menilai dugaan makar merupakan interpretasi penyidik.
Muzakir menilai, Jokowi seharusnya meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengevaluasi kembali penegakan hukum terhadap sejumlah kasus tersebut.
"Presiden seharusnya meminta supaya mengevaluasi praktik penegakan hukum itu. Terutama memerintahkan Tito mengevaluasi semua kebijakan hukum ini, itu kewenangan presiden," ujarnya.
"Perintah Kapolri dan kejaksaan untuk mengevaluasi semua kebijakan praktik selama ini terkait soal makar dan lainnya kalau kewenangan masih di tangan presiden. Kalau itu enggak rasional proses penetapan dan sebagainya undang ahli netral di situ, kalau enggak layak maju tutup sekarang juga sebelum pemilu, ini yang dipertaruhkan jabatan penegak hukum," ujar dia.
Kental Kepentingan PolitikSementara itu Pengamat Politik Usep S Ahyar menilai pertemuan antara Jokowi dan Tim 11 Ulama Alumni 212 kental dengan kepentingan politik. Menurut dia hal itu karena pertemuan yang dilakukan di tahun politik, oleh dua pihak yang terlibat dalam ranah politik.
"Jadi tidak terhindarkan kalau ada kepentingan politik karena aktornya politisi, momentum di tahun politik jelang pilpres, pileg dan motif politik juga terlihat dari siapa yang bertemu, aktor politik dan 212 juga kita tahu orang yang bepolitik, ada kepentingan politik yang disampaikan," ujarnya.
Pertemuan keduanya, kata Usep, juga untuk mencairkan suasana dan menghentikan saling tuding.
"Ini kan kalau dari kepentingan politik tentu kenapa tidak dilakukan dari dulu kenapa baru sekarang. Karena kan memang kubu koalisi pemerintahan dalam konteks pilpres masih punya pertimbangan soal penerimaan calon dalam hal ini Pak Jokowi terhadap umat Islam, masyarakat mayoritas di Indonesia" katanya.
(ayp)