Jakarta, CNN Indonesia -- Dugaan intimidasi sekelompok orang beratribut #2019GantiPresiden terhadap beberapa orang berkaus #DiaSibukKerja saat
Car Free Day (CFD) di Bundaran HI, Jakarta, menunjukkan masih lemahnya pengawasan soal kegiatan berpolitik di acara hari bebas berkendara atau
Car Free Day.
Selama ini pelaksanaan hari bebas kendaraan bermotor diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor. 12 Tahun 2016. Menurut pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa Hari Bebas Kendaraan Bermotor jelas tidak boleh dimanfaatkan untuk, kepentingan partai politik dan SARA serta orasi ajakan yang bersifat menghasut.
Namun, intimidasi yang dialami Susi Ferawati dan anaknya di
Car Free Day telah menimbulkan polemik di masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Susi, dia datang ke CFD untuk mengikuti acara jalan sehat yang sudah diatur sebelum CFD dilakukan. Ibu rumah tangga ini mengaku baru mendapatkan kaus dengan tulisan #DiaSibukKerja pada pagi hari saat tiba di titik kumpul bersama teman-temannya.
Sementara penyelenggara acara jalan sehat #2019GantiPresiden, Gerakan Pemuda Jakarta (GPJ) menduga ada pihak yang memanfaatkan kegiatan tersebut hingga terjadi intimidasi. Panglima GPJ Ade Selon menyebut intimidasi itu tak lepas dari semangat para peserta yang berlebihan. Menurutnya, ada oknum yang sengaja ingin merusak kegiatan.
Menurut pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk, meski kedua kubu berdalih tak melakukan kegiatan politik, kedua kelompok, kata Hamdi, sejatinya sama-sama melakukan kegiatan politik meski terselubung di area CFD.
Hamdi mengatakan perlu pengetatan regulasi dan pengawasan agar tak sembarang orang bisa melakukan kegiatan politik terselubung di tempat terbuka semacam CFD.
Hamdi mengatakan perbedaan pilihan politik antarkelompok sudah semestinya saling dihormati. Terlebih warga yang pergi ke CFD kepentingannya tak hanya soal ganti presiden ataupun membela yang tak ganti presiden.
Alih-alih menimbulkan keributan, Hamdi menyarankan agar kedua kelompok tak perlu lagi turun ke jalan.
"Kalau kedua belah pihak tidak bisa menjaga, ya tidak usah uji kekuatan dengan berkerumun. Itu politik gerombolan. Lebih baik adu argumentasi, bikin tulisan, itu lebih elegan, enggak usah teriak di jalanan," katanya. "Kampanye sekarang saja sudah enggak ramai-ramai ke jalan, itu sudah zaman
old," lanjutnya.
Hamdi menuturkan perlunya pikiran yang tetap waras dalam menjalani tahun politik.
"Kalau memang mau ganti presiden ya bikin seminar kenapa harus ganti, apa alasannya. Pakai politik akal sehat, bukan dengan menebar ancaman, teror, intimidasi, provokasi, arak-arakan massa," ucapnya.
Sementara itu pakar psikologi Koentjoro mengatakan dugaan intimidasi itu cenderung terjadi lantaran ada fanatisme kuat pada kelompok #2019GantiPresiden.
Secara teori, peristiwa itu termasuk dalam persoalan
in group atau kedekatan antaranggota kelompok dan
out group atau antipati yang ditandai dengan sikap kebencian, permusuhan, dan tidak peduli.
"Ada pemilahan yang kuat kalau mereka (#DiaSibukKerja) bukan bagian dari 'kelompok saya'. Perasaan saling dukung dari teman sekelompok juga membuat orang lupa diri sehingga timbul tindakan yang diduga intimidasi," ujar Koentjoro.
Menurut Koentjoro, sikap kelompok #2019GantiPresiden yang diduga mengintimidasi sangat tidak rasional. Apalagi saat itu terdapat perempuan dan anak-anak di lokasi.
Guru besar Fakultas Psikologi Univesitas Gadjah Mada (UGM) ini memprediksi peristiwa serupa akan terus terulang menjelang pemilu 2019. Kondisi ini diperparah dengan pembiaran dari aparat penegak hukum.
"Massa ini tampaknya memang dipelihara, baik melalui media sosial atau rangkaian demo. Jadi jiwa amarah, kebencian, atau agresivitas mereka itu dipelihara," katanya.
Padahal, lanjut Koentjoro, sikap kelompok itu sebenarnya bisa dilacak melalui percakapan melalui media sosial maupun aplikasi pesan singkat seperti whatsapp.
"Jaringannya siapa saja dan apa topik diskusinya itu bisa dilacak di WA," ucap Koentjoro.
Imbauan PolisiKepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengimbau agar masyarakat tak menggunakan ajang hari bebas kendaraan bermotor untuk aktivitas politik.
"Dalam peraturan itu, CFD tidak boleh digunakan untuk politik dan SARA, disitu hanya boleh untuk olahraga, kebudayaan, kesenian," kata Setyo.
Setyo menyebut kepolisian tidak mempermasalahkan soal atribut yang dipakai dalam CFD. Namun, yang dipermasalahkan adalah tindakan intimidasi.
"Selama ini ada yang pakai atribut Batman, Superman, itu tidak ada masalah Tetapi ketika memaksakan kehendak melakukan persekusi terhadap orang lain, itu yang tidak boleh. Itu ada aturan pidananya," kata Setyo.
(ugo/gil)