Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyebut sistem Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Negara Perubahan (APBN-P) masih kurang transparan.
Sistem yang tidak transparan membuka kemungkinan terjadinya lobi seperti yang diungkap dalam operasi tangkap tangan (OTT), Jumat (5/5) malam.
"Kejadian ini terkait dengan usulan APBN-P, penyusunan APBN-P ya karena mohon maaf sistemnya masih kurang transparan. Sehingga masih dimungkinkan terjadinya lobi, terjadinya pembicaraan yang sifatnya mungkin tersembunyi," kata Agus pada jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (5/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agus mengatakan hal ini sangat disayangkan mengingat APBN Indonesia yang cukup tinggi, sekitar Rp2.220 triliun, sedangkan sekitar Rp766 triliun diperuntukkan bagi daerah. Padahal, sambung Agus, sebenarnya Pemerintah sudah memiliki semangat transparansi sejak Presiden Joko Widodo mencanangkan e-planning dan e-budgeting dalam sistem anggaran.
Agus menyampaikan KPK berharap Pemerintah mengevaluasi dan memperbaiki sistem APBN-P. KPK berharap sistem baru dapat diakses publik untuk transparansi.
"Jadi nanti harapan kami dengan pengalaman ini Pemerintah segera membuat sistem perencanaan anggaran yang lebih transparan, bisa dikontrol oleh rakyat, rakyat tahu pembicaraan antara eksekutif dan legislatif dan juga seumpama ada APBN-P pun kita bisa mengontrol," tuturnya.
KPK telah mengamankan sembilan orang terkait kasus dugaan suap APBN-P dalam OTT di beberapa titik di Jakarta, Jumat (4/5).
Empat orang ditetapkan sebagai tersangka pada Sabtu (5/5). Mereka adalah Anggota DPR RI Komisi XI dari Fraksi Demokrat Amin Santono, Ahmad Ghiast, Eka Kamaluddin sebagai pihak swasta, dan Yaya Purnomo (YP) sebagai Kasie Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman Ditjen Perimbangan Keuangan.
Amin, Eka, dan Yaya disangkakan melanggar pasal 12 huruf a dan pasal 12 huruf b, atau pasal 11 dalam Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1.
Sementara Ghiast disangkakan pasal 5 ayat (1) a atau pasal 13 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana telah diubah pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
(kid)