Jakarta, CNN Indonesia -- Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta akan menggelar sidang pembacaan putusan atas gugatan organisasi kemasyarakatan
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas pemerintah, Senin (7/5).
Dalam sidang gugatan ini pihak HTI menggugat surat keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU -30.AHA.01.08.2017 tentang pencabutan keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-00282.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian perkumpulan HTI.
Dalam proses persidangan yang telah digelar lebih dari 15 kali, baik anggota HTI selaku Penggugat maupun Menkumham selaku Tergugat telah menghadirkan sejumlah saksi fakta maupun ahli serta menyerahkan bukti-bukti yang menguatkan argumentasi masing-masing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan catatan, ada sejumlah fakta menarik yang muncul selama persidangan.
Pada sidang 18 Januari 2018, tim kuasa hukum Menkumham menghadirkan bukti video rekaman Muktamar HTI di Gelora Bung Karno, Jakarta, tahun 2013. Video berdurasi dua menit itu menampilkan pernyataan salah satu orator HTI yang menyatakan bahwa nasionalisme telah memecah belah umat.
Oknum tersebut juga menyerukan agar anggota HTI mengangkat satu orang di antara mereka untuk menjadi khilafah, dan menyerukan untuk menjalankan hukum Islam serta meninggalkan sistem perundang-undangan.
Kemudian pada 25 Januari 2018, HTI yang dalam sidang itu diwakili juru bicara Ismail Yusanto beserta kuasa hukumnya Gugum Ridho Putra dariIhza & Ihza Law Firm (miik Yusril Ihza Mahendra), menghadirkan saksi fakta bernama Noviar Bade Rani yang merupakan tetangga dari juru bicara HTI Ismail Yusanto.
 Ismail Yusanto. (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono) |
Dalam kesaksiannya Noviar menyatakan Ismail rutin memberikan ceramah di masjid rumahnya dan pernah menyampaikan soal khilafah dalam salah satu ceramah. Noviar mengatakan khilafah yang disampaikan Ismail adalah sebuah contoh khilafah pada zaman nabi. Atas ceramah Ismail itu ia juga mengaku menjadi mengetahui bahwa HTI adalah organisasi yang memperjuangkan khilafah yakni sistem pemerintahan berdasarkan aturan Islam, dan harus diwujudkan.
Selanjutnya pada 8 Februari 2018, HTI menghadirkan saksi ahli bernama Daud Rasyid. Menanggapi video yang disampaikan Pemerintah, Daud Rasyid menyatakan khilafah artinya menggantikan peran nabi dalam menjaga agama dan urusan di dunia. Menurut Daud, konsep khilafah justru ditujukan untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daud juga menyatakan HTI hanya berupaya menyampaikan ajaran-ajaran Islam dalam setiap dakwahnya, dan khilafah adalah termasuk ajaran Islam.
Namun tak demikian Menurut kuasa hukum Menteri Hukum dan HAM, Hafzan Taher, khilafah jelas bertentangan dengan Pancasila.
Pada 1 Maret giliran Menkumham menghadirkan saksi ahli mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai. Mbai menegaskan keputusan pemerintah mencabut status badan hukum HTI tepat karena ancamannya terhadap negara.
Mbai menilai organisasi HTI memang berjalan normatif, berdakwah, nonkekekerasan, tapi di bawah permukaan membentuk paramiliter. Menurut dia pembentukan paramiliter ini bisa diketahui pimpinan formal organisasi HTI, bisa juga tidak.
Mbai mengungkapkan berdasarkan data-data pelaku aksi teror di Indonesia yang telah tertangkap dan disidangkan hingga saat ini, banyak di antaranya merupakan orang yang pernah berkecimpung di HTI.
Atas pernyataan Mbai yang terakhir ini, jubir HTI Ismail Yusanto menekankan oknum anggota HTI yang melakukan teror, tidak serta merta menjadikan HTI dapat dituding sebagai organisasi radikal.
Selanjutnya pada 15 Maret pemerintah menghadirkan saksi ahli agama dari kalangan Nahdlatul Ulama yakni KH Ahmad Ishomuddin. Dalam keterangannya Ishomuddin menyatakan organisasi Hizbut Tahrir internasional menentang paham-paham demokrasi, karena peraturan perundang-undangan dalam paham demokrasi dibuat atau dirumuskan manusia. Sementara itu, kata Ishomuddin, Hizbut Tahrir internasional menyatakan tidak boleh ada paham selain bersumber dari akidah Islamiyah. Dan HTI merupakan bagian dari Hizbut Tahrir internasional itu.
Selama persidangan pemerintah juga menghadirkan sedikitnya dua ahli hukum administrasi, yakni Dr. Philipus Mandiri Hadjon SH. serta Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakhrulloh dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum administrasi negara.
Meskipun keduanya hadir dalam jadwal persidangan berbeda, namun adanya dua saksi ahli hukum administrasi ini menunjukkan Pemerintah sangat ingin membuktikan bahwa pencabutan status badan hukum HTI dilakukan sesuai prosedur oleh pejabat berwenang.
Philipus dalam kesaksiannya menyebut, pejabat yang menerbitkan keputusan berwenang mencabut kembali keputusannya. Dalam konteks ini Menkumham selaku pihak yang menerbitkan status badan hukum bagi HTI berhak mencabut kembali status itu atas dasar yang jelas. Pencabutan status badan hukum ini, menurut Philipus, masuk dalam kategori sanksi administratif yang bisa dilakukan tanpa melalui proses pengadilan demi mengakhiri sebuah pelanggaran.
Sementara Zudan Arif Fakhrulloh dalam kapasitasnya selaku ahli hukum administrasi negara menyampaikan dalam aspek keberlakuannya, setiap keputusan yang telah dibuat pejabat tata usaha negara berlaku sesaat setelah ditandatangani. Menurut Zudan ketika sudah ditandatangani penetapan pencabutan badan hukumnya oleh pejabat tata usaha negara yang berwenang, maka baju atau status badan hukum suatu organisasi sudah terlepas dan yang tersisa hanya lah anggota-anggota atau mantan anggota badan hukum tersebut.
Ia menjelaskan pejabat tata usaha negara juga tidak perlu menunggu putusan pengadilan dalam mengambil keputusan, untuk mencegah timbulnya kerugian negara. Zudan menekankan sebuah keputusan tata usaha negara pasti tidak lahir serta merta, namun sudah melalui tahap pengkajian dan memiliki rasionalitas yang melatarbelakanginya.
Keterangan saksi-saksi serta dokumen bukti, akan menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim PTUN yang dipimpin Hakim Ketua Tri Cahya Indra Permana dengan dua Hakim Anggota Nelvy Christin dan Roni Erry Saputro dalam mengambil putusan yang dibacakan siang ini.
(antara)