Jakarta, CNN Indonesia -- Teror bom di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, sejak Minggu (13/5) hingga Senin (14/5), memicu wacana percepatan Revisi Undang-Undang Terorisme (RUU Terorisme).
Menko Polhukam Wiranto telah memanggil sejumlah petinggi partai koalisi pemerintah untuk mendapat kesepakatan terkait RUU Terorisme yang hingga dua tahun ini masih berkutat di fase pembahasan. Tidak semua pihak menyetujui percepatan penyelesaian RUU Terorisme menjadi UU Terorisme.
Pengamat Militer dari ISESS Khairul Fahmi menyebut pemerintah tak bisa terburu-buru menyelesaikan RUU Terorisme karena ada banyak hal yang harus mendapatkan kejelasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga menekankan pentingnya asas kemanusiaan dan demokrasi dalam proses penyelesaian RUU Terorisme.
Jika terburu-buru disahkan, dia khawatir RUU Terorisme malah dapat melanggar hak hidup warga,
"Memang (UU Terorisme) diperlukan, tentu. Tapi jangan sampai aturan ini malah memangkas hidup masyarakat," kata Khairul.
Salah satu kekhawatiran publik terhadap revisi UU Terorisme berkaitan dengan wacana aturan yang bakal memudahkan aparat menindak terduga teroris. Pegiat HAM mempertanyakan jaminan aparat nantinya tak bakal sewenang-wenang menguliti hak asasi warga.
Khairul juga menyoroti soal pelibatan TNI dalam RUU Terorisme. Jika pelibatan TNI disepakat, kata dia, harus ada pembagian yang jelas soal penyelesaian di lapangan.
Kejelasan tugas dan kewajiban antar-aparat diperlukan agar tidak ada kerancuan dalam penyelesaian masalah terkait terorisme itu.
Bukan tidak mungkin, kata Khairul, bakal timbul ego sektoral jika TNI dan polisi sama-sama terjun memberantas terorisme.
"Karena tidak bisa kita pungkiri, ego sektoral itu masih ada," kata dia saat dihubungi
CNNIndonesia.com.
Direktur Lembaga Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Lokataru Haris Azhar berpendapat banyaknya pihak yang terlibat dalam pencegahan terorisme bisa menjadi kelemahan tersendiri bagi pemerintah.
Dia menyarankan RUU Terorisme hanya memasukkan pihak-pihak yang pas dan berperan dalam pencegahan terorisme.
"Jangan sampai karena terlalu banyak pihak yang terlibat jadi nanti kita masih koordinasi teroris sudah
nyerang ke mana-mana, jangan jadikan kelemahan kita jadi senjata buat teroris ini bangkit," ujar Haris.
Wacana pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme memang menjadi salah satu poin yang memicu alotnya pembahasan RUU Terorisme.
Selain pelibatan TNI, molornya pengesahan RUU Terorisme dipicu karena tak ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR soal definisi terorisme.
Khairul menyebut kesepakatan soal definisi terorisme menjadi penting karena definisi tersebut akan menjadi dasar bagi sebuah norma baru yang hendak dibangun.
Kejelasan norma dan aturan juga penting karena sebuah undang-undang akan berlaku untuk masa yang panjang. Ia khawatir tanpa kejelasan norma dan aturan, RUU Terorisme berpotensi disalahgunakan oleh elite politik.
"Taruhlah buruknya begini, ganti rezim pemerintahan, ganti ego dan ganti pola pikir, tak bisa dipungkiri ini bisa jadi alat politik juga," ujar Khairul.
Haris menambahkan, percepatan pengesahan RUU Terorisme tak harus dilakukan karena serangan teror di Surabaya dan Sidoarjo.
Ia juga meminta Presiden Joko Widodo untuk cermat dalam mempertimbangkan penerbitan Perppu Terorisme, termasuk kegentingannya dalam menangani ancaman terorisme.
Presiden Jokowi menyatakan bakal menerbitkan Perppu Tindak Pidana Terorisme apabila DPR tak juga merampungkan pembahasan Revisi UU Terorisme hingga bulan depan.
"Kalau Juni pada akhir masa sidang belum selesai saya akan keluarkan Perppu," kata Jokowi di JIExpo, Senin (14/5).
Jokowi menuturkan pemerintah telah memberikan draf revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ke DPR sejak Februari 2016.
Sudah dua tahun, kata Presiden, pembahasan tak menghasilkan UU baru yang menjadi payung hukum Polri menindak tegas segala sesuatu yang berhubungan dengan terorisme.
"Saya meminta DPR dan kementerian terkait yang berhubungan dengan revisi UU Tindak Pidana Terorisme yang sudah kami ajukan Februari 2016 untuk segera diselesaikan secepatnya dalam masa sidang berikut 18 Mei," demikian ia menginstruksikan.
Sebuah Perppu harus memiliki syarat kegentingan. MK melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 menyebut tiga syarat agar suatu keadaan dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa.
Ketiga hal itu yakni kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, terjadi kekosongan hukum karena tidak ada undang-undang yang dibutuhkan, serta kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama.
"Pak Jokowi baca lagi deh definisi genting, memang bulan depan kejadian ini masih ada?" kata Haris.
(wis/gil)