Surabaya, CNN Indonesia -- Kondisi empat anak pelaku teror bom di Surabaya dan Sidoarjo saat ini masih dalam perawatan dan mengalami gangguan psikologi berat. Kepolisian Daerah Jawa Timur bakal memberikan pendampingan hingga anak-anak itu sembuh.
"Kalau kami perhatikan ketiga anak ini mengalami tekanan luar biasa terhadap psikologinya sehingga kami melakukan relaksasi itu," kata Kabid Humas Polda Jawa Timur Frans Barung Mangera di Mapolda Jawa Timur, Surabaya, Selasa (15/5).
Empat anak pelaku teror di Surabaya dan Sidoarjo yang berhasil selamat adalah AR (15), FP (11), dan GHA. Ketiganya adalah anak Anton Febriantono, terduga teroris yang tewas setelah bom di dalam rumahnya di Rusun Wonocolo, Sidoarjo, meledak pada Minggu (13/5) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu anak lain yang selamat adalah AIS, anak pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya.
Kapolda Jawa Timur Irjen Machfud Arifin menyebut anak-anak pelaku teror di Surabaya dan Sidoarjo adalah korban indoktrinasi orang tua mereka.
Sejumlah anak-anak pelaku teror juga disebut tidak mendapat pendidikan formal seperti anak-anak pada lazimnya. Pun, Machfud membantah anak-anak tersebut menjalani
homeschooling.
"(Mereka) tidak sekolah, tidak
homeschooling, orang tua hanya mendoktrin 'kalau ditanya orang kamu sekolahnya
homeschooling'. Padahal tidak ada sekolah, dituntun, dikurung dengan doktrin-doktrin khusus sehingga dia mau dengan ibunya di Diponegoro membawa bom di pinggang," ujar Machfud.
Machfud mengatakan dirinya mengetahui hal tersebut setelah berinteraksi dengan sejumlah anak pelaku teror.
"Kecuali satu anak di Polrestabes yang baru tadi malam dilakukan tindakan medis, masih dalam tindakan bius, masih merem melek, merem melek. Yang tiga sudah bisa komunikasi kalau ditanya
homeschooling diakui bahwa setiap hari Minggu ada pertemuan rutin diajak orang tuanya," kata dia.
Pendampingan akan diberikan untuk memberikan pemahaman yang benar agar anak-anak tersebut dapat keluar dari indoktrinasi yang telah ditanamkan orang tua mereka.
Kata Machfud, pendampingan akan dilakukan oleh polisi wanita terlatih dan psikolog.
"Kami dampingi sampai betul-betul sehat baru diberikan ke orang yang berhak, baik itu neneknya, omnya, pamannya, atau saudara yang bertanggung jawab," ujar Machfud.
(wis/asa)