Jakarta, CNN Indonesia -- Terjadinya aksi teroris yang menyerang kota Surabaya sejak hari Minggu (13/5) hingga Senin (14/5) menggemparkan masyarakat, tak terkecuali
Ali Fauzi. Mantan narapidana teroris yang sempat bergabung dengan Jamaah Islamiyah (JI)--salah satu jaringan teroris pemboman di Bali--ini terkejut dengan rentetan teror
bom bunuh diri di Surabaya.
Ia mengaku heran atas serangan di kota tersebut, karena Surabaya adalah tempat para teroris dibentuk, bukan tempat para teroris menjalankan aksi.
"Kebanyakan para teroris itu asalnya, kampungnya di Surabaya," kata Ali kepada
CNNIndonesia.com saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (17/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di kalangan kelompok radikalisme, katanya, Surabaya memang kerap menjadi tempat 'reproduksi' para teroris. Tak sedikit nama-nama besar para pelaku pemboman memiliki sejarah hidup di Kota Pahlawan tersebut. Ali yang bergabung dengan jaringan teroris itu mengatakan Surabaya tak pernah tersentuh aksi teror hingga pekan lalu. Pengebom yang kebanyakan berasal dari Surabaya lebih senang menyalakan 'kembang api' di daerah lain seperti Jakarta dan Bali.
"Dari 2002 sampai 2017 Surabaya tidak pernah tersentuh bom. 2000 itu pernah memang yang dapat kiriman. Tapi hanya itu saja," kata Ali. "Surabaya itu klir, sampai kemarin itu, rentetan bom akhirnya terjadi."
Atas dasar itu pria yang mendirikan organisasi Lingkar Perdamaian itu menyebut rentetan serangan teroris di Surabaya pantas disebut tragedi.
"Kenapa? Karena itu wilayah reproduksi yang akhirnya menjadi ladang aksi," kata adik terpidana kasus bom Bali I, Ali Imran (seumur hidup), serta Amrozi dan Ali Ghufron (sudah dieksekusi mati) ini.
 Kerusuhan oleh napi teroris di Rutan Mako Brimob dinilai jadi trigger rentetan aksi teror berikutnya di wilayah lain, termasuk Surabaya. (REUTERS/Darren Whiteside). |
Mako Brimob PemicuAli juga tak segan mengungkapkan teori di balik rentetan pengeboman di Surabaya. Pemicunya, kata Ali, dipengaruhi kerusuhan ratusan napi teroris yang terjadi di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
"Kasus kerusuhan Mako Brimob jadi
trigger. Dengan dalih
daf'us shoo il, yaitu jihad untuk membela kehormatan," katanya.
Teori ini dilontarkan Ali bukan tanpa alasan, mantan pembuat bom teror di masa lalu, Ali tahu isu yang menyebar di kalangan jihadis terkait kerusuhan di Mako Brimob bukan hanya soal nasi bungkus atau logistik, tapi karena adanya akhwan dan ikhwan yang katanya ditelanjangi saat melalui pemeriksaan oleh sipir.
"Isu yang menyebar bukan soal nasi bungkus, tapi justru soal maaf yah, ditelanjangi," katanya.
Selepas rusuh di rutan Mako Brimob itu, para jihadis pun langsung 'menciptakan' teror dengan maksud menjadikan wilayah Surabaya sebagai
miftahushiro atau pemantik aksi jihadis untuk wilayah lainnya.
"Dan itu berhasil, di Riau muncul kericuhan. Kemudian ketakutan juga terjadi di daerah lain. Muncul parno, itu yang mereka mau," katanya.
Meski begitu, Ali juga tak memungkiri bahwa para jihadis yang melakukan bom bunuh diri di sejumlah tempat di Surabaya telah melakukan persiapan dengan matang. Mereka, kata Ali, telah bersiap untuk melakukan tugasnya. Ali sendiri menilai para pelaku teror bom di Surabaya itu awal mulanya tak berniat meledakan diri di kandang sendiri.
"Mereka siap, selalu siap. Tapi ada momen Mako Brimob jadi langsung saja. Tentu meledakan diri di Surabaya membuat mereka jadi makin mudah akses, ini kan daerah sendiri jadi observasi gampang," katanya.
Tak hanya itu, kata Ali, di Surabaya segala jenis bahan peledak tersedia dengan murah. Bahkan Ali mengklaim bisa membeli bahan rakitan bom sebanyak satu kilogram hanya dengan mengeluarkan uang Rp20.000 saja.
"Bahan ledak itu kalian minum, kalian makan, kalian genggam. Ada di mana-mana. Dan di Surabaya, itu murah, legal lagi," kata Ali.
(osc/kid)