ANALISIS

Pelibatan TNI dan Potensi Pelanggaran HAM soal Terorisme

Feri Agus | CNN Indonesia
Sabtu, 19 Mei 2018 08:38 WIB
Pengamat terorisme Khairul Fahmi mengatakan pemerintah lebih baik memikirkan terlebih dahulu penempatan Koopsusgab TNI dalam penanganan terorisme.
Defile anggota TNI. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menanggulangi aksi terorisme semakin menguat setelah rentetan bom bunuh diri terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Keterlibatan militer ini nantinya diwakili oleh Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) TNI.

Koopsusgab TNI dibentuk oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat masih menjabat Panglima TNI pada 2015. Tim ini merupakan gabungan pasukan elite antiteror dari tiga matra, yakni Sat-81 Gultor Kopassus TNI AD, Denjaka Korps Marinir TNI AL, dan Satbravo-90 Paskhas TNI AU.

Usulan mengaktifkan kembali Koopsusgab TNI dan melibatkannya dalam penanganan terorisme pun memunculkan pro-kontra.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengamat terorisme dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan pemerintah lebih baik memikirkan terlebih dahulu penempatan Koopsusgab TNI dalam penanganan terorisme, mengingat sudah ada Densus 88 Antiteror Polri.

Menurut Khairul, satu yang pasti pasukan elite gabungan dari tiga matra TNI itu tak bisa masuk dalam proses penegakan hukum yang merupakan ranah Polri. Oleh karena itu, penempatan Koopsusgab TNI ini harus jelas sebelum nantinya benar-benar diaktifkan dan dilibatkan menangani terorisme.

"Di sini yang paling penting adalah merumuskan pelibatan itu seperti apa, di situasi seperti apa, dalam intensitas teror yang bagaimana TNI dilibatkan, apakah dalam pencegahan, apakah dalam pengendalian situasi ketika terjadi aksi, atau dalam tindakan tegasnya," kata Khairul saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Jumat (18/5).

Khairul menyebut pemerintah nantinya harus menjelaskan posisi pasukan Koopsusgab TNI dalam penanganan terorisme ini, apakah sebagai perangkat intelijen atau perangkat operasi penyerangan.

Bila dilibatkan dalam perangkat operasi penyerangan, Koopsusgab TNI ini baru bisa digunakan dalam situasi seperti di Poso, ketika Polri memburu Pemimpin Mujahidin Indonesia Timur, Santoso.

Menurut Khairul, untuk saat ini tak ada kondisi mendesak seperti yang terjadi di Poso sehingga harus melibatkan militer dalam menangani gerakan terorisme di Indonesia.

"Kalau misalnya ini hanya untuk penangkapan-penangkapan kemudian dia (TNI) dilibatkan, saya kira itu justru mengganggu penegakan hukum yang ada," tuturnya.

Khairul menilai salah satu pintu masuk pemerintah mendorong pelibatan Koopsusgab dalam penanganan terorisme adalah lewat revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dalam draft Revisi UU Terorisme itu peran TNI dalam menangani terorisme tertuang dalam Pasal 43H ayat (1), yang berbunyi "Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang."

"Mungkin pemerintah membayangkan Koopsusgab ini bentuk peran serta TNI yang nantinya diatur melalui UU Terorisme yang baru," tutur Khairul.

Posisi TNI

Sementara itu, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Feri Kusuma mengatakan saat ini yang menjadi perdebatan bukan soal setuju atau tak setuju terkait pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.

Yang paling penting dilakukan saat ini, kata Feri pemerintah harus menjelaskan untuk apa TNI dilibatkan dan apa tujuan pasukan loreng itu dilibatkan menanggulangi terorisme.

"Hari ini kita dihadapkan pada pilihan setuju dan tidak setuju TNI dilibatkan. Sebenarnya bukan di situ perdebatannya, tapi penempatannya di mana," tutur Feri kepada CNNIndonesia.com.

Feri mengatakan penanganan terorisme ini merupakan ranah penegakan hukum. Ia menyebut ranah penegakan hukum berada di wilayah Polri bukan TNI. Oleh karena itu, pemerintah harus bisa memastikan posisi TNI dalam menanggulangi terorisme ini.

Menurut dia, selama ini dalam penanganan teroris yang dilakukan Polri, institusi yang kini dipimpin Kapolri Jenderal Tito Karnavian itu juga belum pernah dievaluasi. Padahal, kata Feri muncul dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan Korps Bhayangkara.

"KontraS kan menemukan banyak sekali fakta dalam penanganan Terorisme itu terjadi salah tangkap, kemudian penyiksaan, dalam kasus-kasus itu kemudian para aparat keamanan itu tidak pernah diproses hukum," ujarnya.

"Salah satu contohnya kasus Siyono (terduga teroris yang tewas saat ditangkap Densus 88) itu ya. Itu ada banyak lagi kasus-kasus lain yang terjadi, tapi tidak ada proses hukumnya," kata Feri melanjutkan.

Masalah Baru

Feri menilai pelibatan TNI dalam urusan penanganan terorisme ini akan menimbulkan masalah baru, terlebih institusi TNI lebih tertutup daripada Polri.

Feri menyebut revisi Undang-Undang Peradilan Militer yang sampai saat ini belum rampung juga menjadi salah satu persoalan.

Menurut dia, bila anggota TNI yang masuk dalam Koopsusgab melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) saat menangkap terduga teroris, masyarakat akan sulit meminta pertanggungjawaban dan memantau jalannya kasus tersebut.

"Karena pengalaman masa lalu kita, ada banyak kasus kekerasan, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat TNI dan itu tidak ada proses hukumnya," tuturnya.

Masalah HAM, menurut Feri saat ini telah diabaikan oleh pemerintah dalam penanganan terorisme. Feri mengatakan pejabat pemerintah dan anggota DPR telah menyalahartikan HAM demi menjerat terduga teroris.

"Hak asasi manusia disalah artikan oleh pejabat pemerintah. Pernyataan Mendagri, pernyataan beberapa anggota DPR justru kemudian merusak tatanan hukum yang selama 20 tahun Reformasi dibangun," kata dia.

Feri mengatakan HAM harus ditempatkan sebagai inti dalam penanganan tindak pidana terorisme. Menurut dia, posisi KontraS bukan dalam membela HAM untuk terduga teroris, melainkan kepada warga negara seluruhnya.

"Bagaimana jaminan keamanan kepada warga negara yang masih diduga, tidak ada stigmanisasi, tidak ada salah tangkap, itu yang ingin kita pastikan," ujarnya.

"Ini yang membuat kami agak kecewa dengan pernyataan mereka (pemerintah dan DPR) yang kemudian menggiring opini seolah-olah hak asasi manusia itu kami membela para teroris," kata dia menambahkan.

Feri menyampaikan pihaknya sepakat bahwa terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan lantaran mereka merampas hak hidup orang lain, harta milik orang lain, ruang-ruang publik hingga mengancam keutuhan negara.

Oleh karena itu, kata dia, kejahatan HAM yang dilakukan kelompok teror ini harus dilawan dengan penanganan dalam kerangka HAM pula.

"Parameternya harus ada hak asasi manusia juga. Apalagi negara kita sudah mengadopsi banyak sekali instrumen hukum hak asasi manusia," kata Feri. (ugo)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER