Jakarta, CNN Indonesia -- Letusan freatik kembali terjadi di Gunung Merapi Senin (21/5) sekitar pukul 09.38 WIB dengan durasi letusan sekitar enam menit. Letusan freatik ini merupakan yang kedua, sebelumnya letusan freatik terjadi pada pukul 01.25 WIB.
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta Hanik Humaida mengatakan dua kali letusan freatik yang terjadi di Gunung Merapi sama sekali tidak disertai dengan gejala awal, di antaranya peningkatan suhu di area puncak seperti yang terjadi saat letusan freatik, 11 Mei.
"Sama sekali tidak ada gejala awal apapun yang menunjukkan akan terjadi letusan freatik pada dua letusan yang terjadi secara berturut-turut pada hari ini. Baik dini hari tadi atau pagi ini," kata Hanik seperti dikutip dari
Antara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Erupsi Freatik merupakan proses keluarnya magma ke permukaan bumi karena pengaruh uap yang disebabkan sentuhan air dengan magma baik secara langsung ataupun tidak langsung. Erupsi Freatik terjadi ketika ada air tanah, air laut, air danau kawah, atau air hujan yang menyentuh magma di dalam bumi. Panas dari magma akan membuat air tersebut menjadi uap, dan ketika tekanan uap sudah sangat tinggi dan tidak bisa dibendung, maka akan terjadi letusan yang disebut Erupsi Freatik.
Hanik menjelaskan Gunung Merapi pada letusan freatik pukul 01.25 WIB tinggi letusan mencapai 700 meter berdurasi 19 menit, sedangkan pada pukul 09.38 WIB tinggi letusan 1.200 meter dengan durasi enam menit.
"Suhu langsung tinggi saat terjadi letusan. Kami akan coba mengatur peralatan agar bisa memantau suhu lebih detail lagi," tuturnya.
Dari kedua letusan freatik yang terjadi dalam waktu berdekatan tersebut, BPPTKG juga tidak melihat ada perubahan morfologi di puncak Gunung Merapi.
"Sekali lagi, letusan freatik ini merupakan karakter Merapi. Letusan freatik biasanya terjadi setelah terjadi erupsi besar. Sejak 2010 hingga saat ini, sudah terjadi sembilan kali letusan freatik," ujar Hanik.
Ia menegaskan bahwa letusan freatik di Gunung Merapi hingga saat ini tidak disertai maupun diikuti dengan perubahan gejala seismik apapun sehingga dapat dipastikan bahwa letusan yang terjadi murni disebabkan akumulasi uap air dan gas hingga menyebabkan embusan.
"Letusan vulkanis biasanya disertai dengan gejala seismik maupun deformasi," katanya.
Meskipun letusan freatik masuk dalam kategori letusan yang tidak berbahaya, namun Hanik mengingatkan masyarakat untuk tidak beraktivitas dalam radius dua kilometer dari puncak, salah satunya aktivitas pendakian.
"Sejak terjadi letusan freatik pada 11 Mei, Gunung Merapi ditutup untuk pendakian. Kami baru akan mendiskusikan rencana pembukaan kembali tetapi terjadi erupsi freatik. Kami akan diskusikan lagi bagaimana sebaiknya," imbuhnya.
Hujan AbuLetusan Freatik pertama menyebabkan hujan abu di Kawasan Desa Kaliurang, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Kepala Seksi Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang Didik Wahyu Nugroho mengatakan pihaknya telah membagikan masker kepada anak sekolah dan masyarakat.
Meski hujan abu melanda kawasan Kaliurang, Didik menjelaskan aktivitas warga saat ini berjalan normal, termasuk truk penambangan sudah naik ke lokasi penambangan di Sungai Bebeng.
Ia mengatakan tidak ada evakuasi warga dan aktivitas warga berjalan normal, termasuk anak sekolah tetap masuk sekolah.
Menurutnya saat ini hujan abu relatif tipis, yang bahkan kemungkinan tinggal sisa-sisanya.
Sementara Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan pada letusan kedua, hujan diperkirakan jatuh di daerah sekitar barat di wilayah Kabupaten Magelang dengan jarak yang tidak jauh dari puncak Gunung Merapi.
(ugo/wis)