Jakarta, CNN Indonesia -- Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri) membantah
Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri sempat berselisih dengan Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, soal definisi terorisme, yang akan dituangkan dalam revisi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Irjen Setyo Wasisto menyatakan seluruh satuan, divisi, atau bidang yang ada selalu mengikuti perintah yang disampaikan oleh Kapolri.
"Enggak ada (beda pendapat antara Densus 88 dan Kapolri), kami selalu satu komando. Kalau Kapolri sudah katakan A, sampai ke bawah A. Jadi enggak ada Densus 88 dan Kapolri beda, enggak ada," ucap Setyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan pada Selasa (22/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun demikian, Setyo mengakui sempat terjadi perbedaan pandangan seputar kalimat 'gangguan keamanan' serta 'motif ideologi dan politik' dalam definisi terorisme. Dia berharap perbedaan pandangan itu akan segera berakhir dalam rapat Panitia Khusus revisi UU Terorisme besok, Rabu (23/5).
"Memang kemarin ada sedikit perbedaan pandangan tentang frasa ideologi, politik, dan kemanan negara yang masuk di dalam definisi. Tapi rencana besok akan dirapatkan lagi, semoga sudah ada titik temu," ujar jenderal bintang dua itu.
Setyo menyatakan Polri tidak mempermasalahkan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam upaya pemberantasan terorisme. Menurut dia, Tito telah menghubungi Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto, untuk melibatkan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dalam membantu kerja Densus 88 dalam memburu teroris.
"Kapolri sampaikan, beliau sudah kontak langsung Panglima TNI untuk pelibatan dari Kopassus bantu Densus 88 yang sekarang bergerak melakukan operasi penegakkan hukum," ujarnya.
Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafii, mengatakan pengesahan Revisi UU Terorisme masih terganjal soal definisi terorisme. Menurutnya, Densus 88 menjadi satu-satunya pihak yang belum sepakat soal kalimat gangguan keamanan serta motif ideologi dan politik, dalam definisi terorisme.
Menurut Syafii menerangkan, Densus 88 beralasan hal itu akan mempersempit ruang gerak mereka dalam menanggulangi terorisme. Pandangan Densus berbeda dengan DPR dan pemerintah, termasuk Polri yang menghendaki frasa tersebut ada dalam definisi terorisme.
Politikus Gerindra ini menilai kalimat itu sangat penting membatasi kewenangan Densus 88 dalam melakukan penindakan. Frasa itu agar tidak terjadi pelanggaran selama pelaksanaan undang-undang.
"Kalau kemudian tidak bisa bebas menangkap, ya memang harus tidak bebas. Karena di negara hukum aparat penegak hukum pada dasarnya tidak ada kewenangan apapun kecuali yang diberikan oleh hukum itu sendiri," ujar Syafii di Gedung DPR, Jakarta, Senin kemarin.
(ayp/gil)