Jakarta, CNN Indonesia -- Petisi yang dibuat Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dengan judul 'KPK Dalam Bahaya, Tarik Semua Aturan Korupsi dari RKUHP!' sampai sore tadi telah diteken oleh 53.214 orang.
Petisi dalam laman
https://www.change.org/p/kpkdalambahaya itu kemudian disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai bentuk dukungan.
Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan terima kasih atas dukungan masyarakat sipil dalam penguatan pemberantasan korupsi. Salah satu dukungan ini dilakukan lewat penolakan terhadap draft RKUHP yang disinyalir bakal melemahkan upaya memberantas korupsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terima kasih dukungan yang begitu besar terhadap penguatan Tipikor ke depan. Penguatan antara lain disuarakan sebaiknya memang UU Tipikor tidak masuk dalam RKUHP," kata Agus, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (5/6).
Agus mengatakan pihaknya sudah melakukan kajian dari jauh-jauh hari mengenai bahaya pasal korupsi masuk ke RKUHP. Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah dan DPR dalam melakukan kodifikasi dalam RKUHP berbanding terbalik dengan yang dilakukan negara lain.
"Lihat perkembangan di dunia internasional yang banyak negara melakukan kodifikasi belakangan malah arahnya sebaliknya, jadi uu khusus dimunculkan di luar KUHP," tuturnya.
 Ketua KPK Agus Rahardjo. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Sementara itu, Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mendesak pemerintah dan DPR agar pasal korupsi dikeluarkan dari RKUHP.
Menurut Lalola, pemerintah maupun DPR melakukan lebih baik menyelesaikan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang tertahan sejak 2012 lalu.
"Dibanding memasukkan delik korupsi ke KUHP, karena susah untuk revisi KUHP dibanding UU Tipikor," kata dia.
Lalola mengatakan delik tindak pidana khusus seharusnya berada di luar KUHP. Ia menilai bila tindak pidana khusus berada di dalam KUHP akan menyulitkan penanganan perkara yang dilakukan lembaga seperti KPK, BNN, Komnas HAM, maupun BNPT.
"Agar delik tindak pidana khusus di luar KUHP karena akan menyulitkan penanganan perkara lembaga independen ini," tuturnya.
(gil)