Jakarta, CNN Indonesia --
Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur menggandeng intelijen untuk berkoordinasi membendung paham
radikalisme di lingkungan kampus mereka. Intelijen akan diterjunkan untuk memantau pergerakan mahasiswa, termasuk pihak-pihak dari luar yang masuk ke kampus.
"Kami memang minta bantuan intelijen untuk melihat pergerakan mahasiswa, terutama yang dari luar kampus. Dan, biasanya ketika ada mahasiswa yang meresahkan atau merugikan, intel yang menghubungi saya langsung," kata Rektor Universitas Brawijaya Muhammad Bisri, yang dikutip dari
Antara, Rabu (6/6).
Ia mengakui pihaknya tidak mungkin mengawasi setiap kegiatan mahasiswa secara detail karena jumlah mahasiswa di kampus ini lebih dari 60 ribu. Karenanya Rektorat menggandeng intelijen yang akan langsung berkoordinasi dengan Wakil Rektor III.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memang susah. Nantinya Wakil Rektor (WR) III yang akan berkoordinasi dengan intelijen," ujar Bisri.
Sejauh ini organisasi atau unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang ditengarai bisa menjadi salah satu masuknya radikalisme sudah dipantau. Pihak kampus juga mengawasi organisasi-organisasi ekstra kampus.
Sementara organisasi Islam di kampus seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Bisri menilai tidak ada masalah. Selama ini
Menurut dia, yang tidak terdeteksi adalah mereka yang begerak dengan sembunyi-sembunyi, khususnya yang tidak terorganisir atau bergerak secara individual.
"Ini juga susah dipantau oleh rektorat. Dulu sempat akan melarang satu organisasi yang dianggap radikal untuk tidak melakukan kegiatan terbuka di UB, sayangnya sampai sekarang prosesnya masih alot," katanya.
Namun, lanjutnya, sekarang sudah dilarang oleh pemerintah, mau tidak mau organisasi itu wajib bubar, sehingga sekarang lebih enak pengawasannya.
Selain menggandeng intelijen, kata Bisri, pihaknya juga melakukan langkah lain secara internal untuk mencegah paham radikalisme, yakni memperkuat karakter moral bagi mahasiswa di masjid-masjid. Kemudian ada juga mata kuliah yang sudah dirancang dengan memasukkan poin-poin Pembinaan Karakter Berbasis Religi (PKBR).
PKBR merupakan pembinaan kepribadian yang berhubungan dengan keagamaan. Hanya saja, implementasinya tidak selalu berhubungan dengan ketuhanan. PKBR juga membantu mahasiswa membentuk kepribadian profesional. "Mata kuliah ini sudah dipetakan dengan baik," ujarnya.
Sebelumnya BNPT merilis ada tujuh kampus yang diduga kuat menjadi lahan subur tumbuhnya paham radikalisme. Kampus-kampus itu, yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Diponegoro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB).
IPB Tunggu KlarifikasiSementara itu, Rektor IPB, Arif Satria mengatakan pihaknya sudah meminta klarifikasi BNPT terkait data yang menyebutkan tujuh kampus sudah terpapar paham radikalisme. Dia berharap bisa mendapat informasi detail dari BNPT mengenai tujuh kampus yang disebutkan itu
"Kami dengan BNPT masih terus klarifikasi, kami berharap BNPT bisa memanggil para pimpinan perguruan tinggi untuk bisa memberikan informasi yang lebih lengkap dan lebih utuh, sehingga kita bisa mencermati," kata Arif dikutip Antara, Rabu (6/6).
Arif menyebutkan, sebagai perguruan tinggi, IPB harus bisa terbuka terhadap masukan maupun kritik. Karena terkadang tidak semua diketahui IPB secara 100 persen, seperti temuan BNPT tersebut.
Menurutnya, masyarakat ingin mengetahui secara rasional dan objektif klarifikasi dari BNPT terkait bagaimana tujuh nama kampus tersebut bisa muncul.
"Supaya bisa fair, supaya lebih enak, kalau itu berdasarkan hasil kajian, apa kriterianya, metodenya bagaimana, pengambilan data seperti apa," katanya.
Arif mengakui, pernyataan BNPT dimana isunya sudah menyebar luas, maka IPB dalam posisi yang dirugikan. Sebab stigmatisasi itu bagian dari penyederhanaan dan generalisasi terhadap masalah-masalah yang ada.
"Jangan sampai nanti semua orang ke masjid takut, mau mengaji takut, pakai kerudung takut, itu dianggap radikal, ini sesuatu yang tidak kondusif," katanya.
Arif menambahkan, stigmatisasi radikalisme di kampus ini juga bisa berdampak pada kekhawatiran orang tua, dan calon-calon mahasiswa, yang semestinya di era seperti saat ini harus memberikan informasi yang kondusif.
(osc/gil)