Jakarta, CNN Indonesia --
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai masuknya pengaturan pidana khusus seperti tindak pidana korupsi (tipikor) dalam kodifikasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (
RKUHP) akan menimbulkan kekisruhan dalam penegakan hukum. Bahkan menurut mereka, langkah itu sama saja mengancam keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga khusus (ad hoc) untuk memerangi korupsi selain Kejaksaan dan Polri.
"Khusus tipikor, sulit untuk membantah dengan masuknya tipikor ke KUHP ini sebetulnya operasi senyap untuk melemahkan KPK. Kalau publik enggak hati-hati, ini bisa menjadi lonceng kematian KPK," kata Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Maneger Nasution, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (7/6).
Maneger menyatakan KPK khusus buat melakukan penyidikan terhadap pidana korupsi. Wewenang KPK itu pun telah tercantum dalam Undang-Undang Pemberantasan Tipikor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, jika RKUHP disahkan, kewenangan penyidikan tindak pidana akan beralih kepada polisi dan kejaksaan. Sehingga, kata Maneger, secara perlahan hal itu membahayakan dan menghilangkan posisi KPK yang melakukan upaya pemberantasan korupsi.
"Sementara bangsa kita sepakat meyakini bahwa lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan kita yang secara organik menangani korupsi belum seutuhnya bisa diandalkan. Kalau bisa diandalkan, ngapain kita bikin UU Tipikor dan KPK?" ujar Maneger.
Maneger menilai, pengembalian pengaturan pidana korupsi ke dalam RKUHP menunjukkan pelemahan sanksi yang sebelumnya telah disusun UU Tipikor di luar KUHP. Hal itu terlihat dari sejumlah hal.
Salah satunya dengan pengurangan hukuman minimum khusus dalam RKUHP pada tipikor, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Tipikor yang mengatur pidana minimum umum paling singkat empat tahun. Namun, dalam Pasal 687 RKUHP diubah menjadi paling singkat dua tahun.
Kemudian, dalam RKUHP tidak terdapat pasal mengatur soal pidana tambahan berupa penggantian kerugian negara.
Maneger juga khawatir jika RKUHP disahkan, maka akan terjadi tumpang tindih dalam penegakan hukum dalam pidana korupsi.
"Kami memandang, kalau delik pidana khusus itu masuk ke RKUHP agak sulit dibayangkan tidak ada
overlapping penanganan antara polisi, kejaksaan, dan lembaga pidana khusus yang sudah punya UU," kata Maneger.
PP Muhamadiyah, kata Maneger mengharapkan kebesaran jiwa dan ketegasan sikap Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan menteri terkait menarik draf RKUHP dari DPR, untuk ditinjau kembali sebelum RKUHP itu disahkan pada Agustus 2018.
"Kami harap Pemerintah dan DPR meninjau RKUHP di sisa waktu ini," ujar Maneger.
(ayp)