Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam)
Wiranto mengakui masih ada polemik dalam
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disusun pemerintah. Dia mengakui hal itu setelah mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang gencar menentang RKUHP, dan menolak upaya pelemahan atau adu domba antara pemerintah dengan lembaga antikorupsi itu.
"Namanya kan belum sempurma, belum final apa itu masalah sanksi, masalah yang menyangkut delik-delik bersifat tindak pidana masuk ke RKUHP dan sebagainya akan dibicarakan lebih lanjut mana-mana yang belum sesuai," kata Wiranto usai rapat terbatas dengan KPK dan Kementerian Hukum dan HAM di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Kamis (7/6).
Mantan Panglima ABRI itu mengakui proses pembahasan RKUHP masih belum final, sehingga masih banyak perbedaan pendapat yang perlu disikapi dengan baik oleh pemerintah. Ia juga mengakui masih ada beberapa pasal yang masih perlu dibahas lebih lanjut untuk dimatangkan dalam RKUHP. Meski begitu, ia tidak merinci pasal-pasal mana saja yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wiranto menyatakan pemerintah tak berniat melemahkan dan merekayasa kewenangan lembaga-lembaga yang menangani pidana khusus, seperti KPK, dalam menjalankan tugasnya.
"RKUHP ini sama sekali tidak ada niat, tidak ada upaya, tidak ada rekayasa untuk melemahkan lembaga-lembaga yang melawan tindak pidana bersifat khusus apa itu korupsi, narkotika, terorisme, tindak pidana pencucian uang tidak ada," ujarnya.
Menurutnya, pertemuan antara dirinya dengan pimpinan KPK dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly dimaksudkan untuk menyatukan pendapat dalam pembahasan RKUHP. Ia lantas berjanji bakal ada pertemuan selanjutnya untuk membahas dan menyelesaikan perbedaan pendapat tersebut.
"Makanya kita katakan RKUHP belum final, masih dalam proses. Kalau saat ini ada perbedaan sana sini lumrah saja dan saat ini kita mencoba menyatukan pendapat menghadapi permasalahan itu," ujarnya.
Di tempat yang sama, Anggota Panja RKUHP Arsul Sani merinci beberapa hal dimaksudkan Wiranto dalam RKUHP yang perlu dibahas lebih lanjut. Ia mengatakan yang dipermasalahkan KPK adalah pasal 723 dan 729 RKUHP, yang dirasa masih belum tegas.
Pasal 729 menyatakan tindak pidana khusus tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga masing-masing. Ketentuan tentang tindak pidana khusus dalam RKUHP tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga yang telah diatur dalam UU masing-masing.
Sedangkan di dalam bunyi pasal 723 justru bertolak belakang dan berpotensi menghilangkan sifat khusus Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.
Pasal 723 menyatakan, dalam jangka waktu satu tahun setelah KUHP berlaku, semua asas yang selama ini ada di Undang-Undang sektoral harus kembali lagi ke RKUHP. Asas hukum yang selama ini sudah diatur secara khusus dalam UU tipikor dan UU KPK akan kembali ke KUHP.
Ketentuan Umum KUHP juga disebut tidak mengatur asas pidana tambahan uang pengganti. Bentuk pidana tambahan uang pengganti dalam pasal 18 UU Tipikor tidak dicantumkan dalam pasal 72 RKUHP.
Melihat hal itu, Arsul lantas meminta agar pihak KPK memberikan rekomendasi terhadap kedua tersebut kepada pemerintah untuk didiskusikan bersama.
"(KPK) bukan menyampaikan keberatan dengan pasal itu tetapi yang disampaikan KPK bahwa ini kayaknya pasalnya harus dianalisis dengan pasal lain, 723 dan sebagainya. Ya enggak apa-apa makanya, KPK-nya kita minta memberikan masukan atas 729 dan 723. 723 itu mengatakan bahwa satu tahun setelah UU ini berlaku itu harus disesuaikan," ujar Arsul.
KPK memang keberatan dengan sejumlah poin pada RKUHP yang kini tengah dibahas. KPK meminta seluruh tindak pidana korupsi tetap diatur dalam UU khusus di luar KUHP. Mereka sudah menyampaikan surat penolakan terhadap poin tersebut kepada Pesiden, Ketua Panja RKUHP DPR, dan Kemenkumham.
"Kami memandang, masih terdapat aturan yang beresiko melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi jika sejumlah pasal-pasal tentang tindak pidana korupsi masih dipertahankan di RKUHP tersebut," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif akhir Mei lalu.
(ayp)