Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai Pemerintah tak sensitif melihat potensi pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian ketika mengangkat Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan sebagai penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat.
Fadli mengatakan potensi kecurangan di Pilkada Serentak paling rawan ada di pengamanan distribusi surat suara hingga rekapitulasi penghitungan suara.
"Kenapa yang dilantik seorang perwira aktif yang jadi plt gubernur, padahal kan banyak pejabat petinggi madya lain di kalangan ASN yang bisa dilantik?" kaya Fadli saat dihubungi
CNNIndonesia.com pada Rabu (20/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyatakan bahwa pelantikan Iriawan dapat menyebabkan berbagai berbagai potensi penyalahgunaan kekuasaan (
abuse of power) dalam perhelatan Pilkada Jabar.
Pertama, kata Fadli, potensi kecurangan dapat terjadi saat proses pengamanan penyelengaraan Pilkada Jawa Barat 2018 oleh pihak kepolisian yang dapat menguntungkan calon tertentu.
Menurutnya, proses pengamanan diawasi oleh pihak kepolisian yang berpotensi tak netral di Pilkada Jawa Barat.
Rekapitulasi hasil penghitungan surat suara akan dilakukan secara berjenjang oleh KPU dari tingkat kecamatan hingga tingkat provinsi pada 28 Juni-9 Juli 2018.
"Jadi perwujudan konflik kepentingan ada di sini, potensi kecurangan di pengamanan, misalnya pengamanan distribusi surat suara itu pengamanan dari polisi, pengamanan rekapitulasi, proses jalannya pengamanan pemungutan suara oleh polisi," ujarnya.
Terlebih, pengangkatan Iriawan dapat menimbulkan konflik kepentingan di Pilkada Jawa Barat 2018. Sebab, Iriawan dan calon wakil gubernur pasangan nomor urut 2, Anton Charliyan punya latar belakang kesamaan institusi.
"Ada konflik kepentingan kan bisa dilakukan, ada seorang mantan perwira polisi yang sedang mencalonkan, dan Pj gubernurnya seorang perwira aktif," kata Fadli.
Selain itu, Fadli menyatakan bahwa potensi mobilisasi birokrasi, baik ASN maupun aparat Polri dapat dilakukan Iriawan dengan memanfaatkan kekuasaannya di Jawa Barat demi menguntungkan calon tertentu.
Menurutnya, jabatan Iriawan sebagai Pj Gubernur memiliki kewenangan penuh untuk memanfaatkan birokrasi di tubuh Pemprov Jawa Barat untuk tujuan tertentu.
"Termasuk Pj gubernur kan punya wewenang terhadap birokrasi-birokrasi yang ada dibawahnya, potensi mobilisasi birokrasi terhadap paslon tertentu itu rentan, itu yang paling besar, konflik kepentingannya itu," ungkapnya.
Melihat potensi penyalahgunaan kekuasaan itu, Fadli mendesak agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat mengantisipasi kerawanan kecurangan dan pelanggaran netralitas aparat di Pilkada di Jawa Barat.
Tak hanya itu, ia mengatakan bahwa pihak-pihak tersebut harus menindaklanjuti lebih serius temuan data terkait potensi kerawanan di Pilkada serentak 2018 yang telah dikeluarkan oleh Bawaslu maupun dari Kepolisian untuk meminimalisir kecurangan di Pilkada.
"Menurut saya itu harus di-
follow up lebih jauh, terutama soal dari ASN, TNI dan Polri, tak bisa hanya berharap dari pengawas pemilu saja, terutama dari pengawas internal sendiri harus bisa bekerja lebih pro aktif. Potensi ketidaknetralan bisa diantisipasi, dan tak bisa berpihak," katanya.
Sementara itu, Pj Gubernur Iriawan mempertanyakan tudingan bahwa ia akan bertindak tak netral di Pilkada.
"Bagaimana caranya saya tidak netral? Apakah dengan cara saya menggerakkan komponen yang ada di Jabar untuk memenangkan salah satu pasangan calon tertentu? Kalau itu saya lakukan, pasti akan bocor dan ramai. Sangat besar risikonya untuk jabatan dan karier saya," katanya.
(ugo/sur)