Dengan korban yang sangat banyak itu, tidak mengherankan jika penghentian operasi terpadu pencarian korban KM Sinar Bangun pada hari ini, Selasa (3/7), diwarnai pro dan kontra.
Aktivis Ratna Sarumpaet yang mengaku mewakili keluarga korban bahkan sempat terlibat cekcok mulut dengan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ratna tak setuju pemerintah menghentikan proses evakuasi mengingat masih ada ratusan jasad korban belum dievakuasi. Di sisi lain, pemerintah mengaku memiliki kendala teknis untuk mengangkat jasad dari dasar Danau Toba.
Keputusan pemerintah itu pun bertolak belakang dengan proses evakuasi korban AirAsia yang baru dihentikan setelah tim terpadu berhasil mengangkat mayoritas jasad korban. Namun, pengamat transportasi Darmaningtyas menilai proses evakuasi korban KM Sinar Bangun dan korban AirAsia tak bisa disamakan begitu saja.
Kondisi bentang alam merupakan satu yang paling menentukan. Pria yang akrab disapa Tyas itu menyoroti letak Danau Toba yang dikelilingi pegunungan.
Kondisi geografis tersebut, kata dia, mempersulit akses tim evakuasi terutama untuk membawa peralatan penolong. Bahkan penggunaan helikopter pun, menurut Tyas, cukup terbatas di daerah tersebut.
"Memang kesulitan yang ada di Danau Toba itu tidak bisa mengerahkan peralatan yang canggih secepat sewaktu di AirAsia," ujar pria yang mengepalai advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Selasa (3/7).
Darmaningtyas mengatakan kesulitan itu tak terjadi dalam proses evakuasi korban AirAsia QZ8501 di perairan lepas. Lokasi kecelakaan di wilayah perairan lepas, kata dia, membuat pemerintah dan pihak terkait dapat leluasa mengerahkan berbagai peralatan.
Negara-negara lain yang ikut operasi terpadu pun dapat mudah mengakses lokasi kecelakaan. Malaysia, Singapura, Australia, Amerika Serikat, Jepang, Rusia, dan Korea Selatan tercatat mengirim kapal pencari hingga pesawat untuk mencari korban di perairan dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Barat.
Ia berkata Danau Toba bukan laut lepas. Kalau pun ada peralatan canggih untuk menarik kapal dan jenazah penumpang KM Sinar Bangun dari dasar danau, tak ada opsi untuk membawanya.
"Persoalan besarnya di situ, karena bukan laut lepas melainkan cekungan yang dikelilingi pegunungan. Itu yang mesti disadari," kata Tyas.
Berdasarkan aksesibilitas itu, Tyas menyimpulkan bahwa penghentian evakuasi di tengah keterbatasan peralatan menjadi opsi paling rasional.
Pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolat juga tak memungkiri bahwa medan yang berat menjadi penghambat proses evakuasi. Tigor menilai evakuasi sudah cukup maksimal dari pemerintah pusat meski masih ada sejumlah kekurangan.
"Persoalannya kendala teknis. Kedua, walaupun bisa diangkat, dari info yang saya dapat ada kerusakan jenazah korban," ujar Tigor memaklumi.
 Petugas memeriksa badan pesawat AirAsia QZ8501 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (2/3). (Antara Foto/Zabur Karuru) |
Pemda LalaiTigor mengaku sudah beberapa hari terakhir bolak-balik dari Simalungun ke Samosir. Dari sana, ia menyadari kegagapan pemerintah daerah dalam mengelola penyeberangan di Danau Toba.
Kegagapan itu, menurut Tigor, terlihat dari nihilnya pengawasan di pelayanan pelayaran Toba.
"Saya lihat Pemda memang enggak punya
concern yang baik selama berpuluh tahun," ucapnya.
Tigor pun mendesak Pemda hadir lebih jauh dalam mengawasi fasilitas pelayaran di sana.
"Penyebab utamanya memang karena lalai Pemdanya. Kan, pelayaran Danau Toba ini otoritasnya dari Pemda," ujar dia.
Di perspektif berbeda, Tyas menilai Pemda bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab. Meski Danau Toba menjadi domain Pemda, ia mengingatkan bahwa pengelolaan danau ada di tangan Badan Otorita Danau Toba yang dibentuk oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya pada November 2016.
"Jadi tidak bisa dikotomi lagi, tapi dua institusi itu mau tidak mau bersinergi menetapkan layanan transportasi Danau Toba yang lebih baik," tutur Tyas.