Jakarta, CNN Indonesia -- Nama Gubernur DKI Jakarta
Anies Baswedan terus digaungkan dalam bursa calon untuk Pilpres 2019 mendatang, baik sebagai calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres). Sejumlah tokoh maupun elite partai politik dalam beberapa kesempatan menyebut nama Anies layak melenggang ke
Pilpres 2019.
Salah satunya Partai Demokrat yang mengusulkan duet Anies dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai alternatif poros yang sudah ada. Selain itu, PKS secara terbuka menilai Anies layak menjadi capres. Kemudian Gerindra juga tak ketinggalan menginginkan Anies menjadi cawapres bagi Ketum Gerindra Prabowo Subianto.
Jika nantinya ikut berkompetisi dalam ajang Pilpres 2019, langkah Anies tersebut akan mengikuti jejak Joko Widodo atau Jokowi pada 2014. Saat itu Jokowi baru sekitar dua tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta namun memilih meninggalkan Jakarta untuk bertarung di Pilpres.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kala itu, Jokowi dianggap mumpuni untuk menjadi presiden karena keberhasilannya saat menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta--meski baru sebentar.
Namun berbeda dengan Jokowi, kepemimpinan Anies yang masih singkat di Jakarta jutsru dinilai bisa menjadi titik lemahnya jika tetap melenggang ke pilpres tahun depan.
"Bisa jadi titik lemah bagi Anies karena belum mampu membuktikan dia mampu memimpin dalam ranah eksekutif," kata Pengamat politik dari Populi Center Usep Ahyar saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Kamis (5/7).
Usep beranggapan jika pihak lawan bisa membuktikan kinerja Anies di Jakarta yang kurang berhasil, maka akan dijadikan sebagai sasaran tembak.
"Misalnya janji memimpin Jakarta lima tahun malah ditinggalkan untuk jabatan yang lebih besar padahal masih belum terbukti di Jakarta," tuturnya.
Kendati demikian, Usep melihat kemampuan Anies dalam beretorika merupakan keunggulan tersendiri bagi mantan rektor Universitas Paramadina tersebut. Kemahiran beretorika, kata dia, bisa menjadi salah satu modal utama Anies untuk bersaing sebagai capres maupun cawapres di 2019.
Selain itu, faktor identitas sosial juga bisa menjadi keuntungan bagi Anies. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dicopot Presiden Jokowi pada 2016 itu kerap diidentikkan sebagai tokoh yang religius dan taat beragama.
Belum lagi Anies juga sering diasosiasikan dekat dengan kelompok Islam, terutama usai Pilgub DKI 2017 lalu.
Atas dasar itu, kepemimpinan bukan menjadi modal utama Anies untuk bertarung di Pilpres 2019.
"Selama ini dimunculkan isu-isu misalnya dia taat beragama, religius. Jadi faktor konteks kepemimpinan bukan faktor utama," ujarnya.
 Selain beretorika, modal lain Anies Baswedan untuk Pilpres 2019, yakni kedekatannya dengan kelompok Islam usai Pilgub DKI 2017. (CNN Indonesia/Mesha Mediani). |
Kinerja di DKI Tak Terlalu MenjualPengamat politik dari Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan peluang Anies untuk maju di Pilpres 2019 tidak bisa dilihat atau dikaitkan dengan kinerjanya selama memimpin ibu kota dalam setahun terakhir. Sebab memang belum ada hasil kinerja Anies yang layak diperbincangkan.
"Belum ada sesuatu yang patut diperbincangkan mengenai kinerja Anies di DKI Jakarta," kata Ray saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Kamis (5/7).
Ray berpendapat kinerja Anies sebagai Gubernur DKI juga tidak terlalu menjual untuk pemilu sekelas Pilpres 2019.
"Ya enggak terlalu menjual," ujarnya.
Sebab, kata Ray masyarakat pun memiliki pandangan yang berbeda terkait kinerja Anies sebagai Gubernur DKI. Tapi hal ini yang justru membuka peluang Anies ikut Pilpres. Mengingat bisa saja masyarakat tak memiliki ekspektasi tinggi terhadap kepemimpinan Anies di Jakarta.
Menurut Ray, yang menjadi daya tarik dari Anies bukanlah soal kinerja dan kepemimpinannya, tetapi terkait pandangan publik, khususnya pendukungnya yang melihat Anies sebagai pemimpin umat Islam.
Apalagi, mayoritas pemilih Anies merupakan umat Islam. Anies pun terkenal dekat dengan kelompok Islam. Hal itu merujuk pada Pilgub DKI 2017 silam, lanjut Ray, di mana saat itu isu SARA sedemikian masif.
"Kategorinya dia bukan pemimpin alternatif, tapi pemimpin umat," ucap Ray.
Lebih dari itu, Ray menuturkan keunggulan dari sisi kelompok Islam ini pun terus dipelihara Anies usai gelaran Pilgub DKI.
"(Terlihat) dengan langkah-langkah (Anies) mengeksekusi tuntutan yang terkait dengan kelompok itu, misalnya menutup tempat hiburan malam, memperbolehkan kegiatan keagamaan di Monas," tuturnya.
Atas dasar itu, Ray menyebut peluang Anies untuk maju di ajang Pilpres 2019 tak bisa semata-mata dilihat dari keberhasilan kinerjanya selama memimpin Jakarta, tapi karena faktor eksternal, dalam hal ini diasosiasikan dengan kelompok Islam.
"Bukan soal apa yang dilakukan di Jakarta, tapi dia itu dianggap pemimpin umat," ujarnya.
(osc/kid)