ANALISIS

JK 'King Maker' di Pilpres 2019

Feri Agus | CNN Indonesia
Jumat, 06 Jul 2018 17:50 WIB
Kekuatan politik JK tak bisa dipandang sebelah mata dan patut diperhitungkan. Keberhasilan JK menjadi 'king maker' bisa dilihat di Pilkada DKI 2017.
Kekuatan politik JK tak bisa dipandang sebelah mata dan patut diperhitungkan. Keberhasilan JK menjadi 'king maker' bisa dilihat di Pilkada DKI 2017. (Biro Setwapres)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Presiden Jusuf Kalla telah beberapa kali menyampaikan bahwa dirinya ingin istirahat dari kancah politik nasional setelah menyelesaikan masa jabatannya. Ia mengaku tak akan maju dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2019, baik sebagai bakal calon presiden maupun calon wakil presiden.

Untuk posisi yang terakhir, peluang JK maju kembali mendampingi Presiden Joko Widodo juga tertutup, setelah Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Dalam beleid tersebut mengatur bahwa presiden atau wapres yang pernah menjabat dua kali masa jabatan tidak bisa lagi mencalonkan diri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

JK sendiri pernah menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode 2004-2009. Ia kemudian mendampingi Jokowi untuk periode 2014-2019.

"Saya, pertama butuh 20 persen. Saya enggak punya partai. Cukuplah biar Anda yang muda-muda. Saya ingin istirahat," kata JK akhir Juni lalu.

Niat istirahat menempati posisi tertinggi dalam kancah politik nasional, tak membuat langkah politik JK ikut berhenti menjelang pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden, yang dimulai pada 4 sampai 10 Agustus 2018.

Pada beberapa kesempatan JK dinilai tengah melakukan penjajakan untuk Pilpres 2019.

Hal tersebut dilihat dari kedatangan JK ke rumah SBY pada 25 Juni lalu, meskipun kehadirannya masih dalam suasana Lebaran. Usai pertemuan JK-SBY itu, mengemuka wacana menduetkan JK dengan putra sulung SBY Agus Harimurti Yudhoyono.

Selang beberapa hari kemudian, JK mengajak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk satu mobil usai meninjau venue Asian Games bersama, pada Jumat 29 Juni. JK saat itu mengantarkan Anies ke Balai Kota.


Tak sampai disitu, saat menghadiri acara halal bihalal ke Kantor Pusat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), pada 3 Juli, mantan Ketua Umum Partai Golkar itu kembali mengajak Anies satu mobil.

Sehari setelahnya, JK kembali memberikan tumpangan mobil kepada mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayan itu saat menghadiri acara halalbihalal ke Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Gelagat tersebut dinilai sebagai bentuk manuver JK menjelang pendaftaran bakal capres dan cawapres 2019-2024.

Politisi senior itu pun dianggap bakal menjadi seorang 'king maker' atau peracik strategi pada perebutan kursi RI 1 dan RI 2 kali ini. Setelah pada tiga edisi Pilpres sebelumnya, mulai dari 2004 sebagai cawapres, 2009 sebagai capres, dan 2014 sebagai cawapres kembali.

"Kalau saya melihatnya ini manuver saja, manuver JK untuk kemudian, dalam posisi ini dia seolah-olah ingin mengatakan dia ini mau menjadi 'king maker' untuk Pilpres 2019," kata pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Idil Akbar saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Kamis (5/7).

Idil melihat peluang JK mendorong Anies sebagai capres sangat terbuka. Ia menyebut JK dan Anies memiliki kedakatan karena sama-sama jebolan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan kini berada dalam Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).

Anies pernah berada di Kabinet Kerja Jokowi-JK selama sekitar dua tahun. Saat ini JK dan Anies juga sama-sama berada dalam Dewan Masjid Indonesia (DMI).

"Sudah menjadi rahasia umum JK Anies sangat dekat. Kecenderungan itu akan bisa terlihat, makannya kenapa kemudian diajak bareng oleh JK ke PBNU dan Muhammadiyah," ujar Idil.

Kekuatan politik JK tak bisa dipandang sebelah mata dan patut diperhitungkan. Ditambah sokongan modal yang dirinya miliki.

Hal tersebut dapat dilihat pada Pilpres 2014 lalu. JK memilih berlawanan dengan sikap partainya, Golkar. Kala itu JK maju sebagai pendamping Jokowi yang diusung PDIP, PKB, NasDem, Hanura, dan PKPI.
JK 'King Maker' di Pilpres 2019Wakil Presiden Jusuf Kalla halalbihalal di PP Muhammadiyah. (Biro Setwapres)

Sementara Golkar masuk dalam barisan Gerindra, PKS, PAN, dan PPP yang mengusung duet Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Meskipun tak didukung penuh oleh Golkar, JK mampu menang bersama Jokowi.

Idil mengatakan JK memiliki kecenderungan ingin membangun koalisi alternatif melawan koalisi pemerintah, meskipun Golkar telah dari jauh-jauh hari mengusung Jokowi sebagai capres.

Sampai saat ini setidaknya Demokrat, PAN, dan PKS belum menentukan sikap siapa yang bakal diusung sebagai capres dan cawapres untuk Pilpres 2019. Dalam posisi sekarang, kata Idil JK mendorong nama Anies agar dilirik oleh partai-partai tersebut.

Idil menyebut terdapat peluang yang cukup baik bila Demokrat, PAN, dan PKS menyambut usulan JK yang kemungkinan mendorong Anies maju. Mengingat, SBY selaku pemimpin Demokrat masih berkukuh mendorong putra sulungnya maju sebagai cawapres.

"SBY masih tetap agar AHY maju, JK sendiri ingin Anies maju. Ini ada prospek pada PKS dan PAN. Tapi problemnya adalah apakah kekuatan di situ bisa cukup memberikan nilai lebih pada Pilpres 2019," kata dia.

Bila ketiga partai itu berkoalisi sudah cukup untuk mengusung sendiri capres dan cawapres.

Pada Pemilu 2014, Demokrat mengantongi 10,19 persen suara, PAN 7,59 persen suara, dan PKS 6,79 persen suara. Komposisi tersebut sudah melebihi syarat 20 persen suara nasional untuk mengusung capres dan cawapres sendiri.

Sukses di Pilkada Jakarta

Keberhasilan JK menjadi 'king maker' bisa dilihat pada gelaran Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Saat itu secara 'diam-diam' JK mendukung pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang diusung Gerindra dan PKS.

Pilihan JK tersebut berseberangan dengan Jokowi ataupun pemerintah.

Keterlibatan JK mendorong Anies maju merebut kursi DKI 1 diungkapkan oleh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Menurut Zulkifli, JK lah yang meminta Anies dipasangkan dengan Sandi.

"Jam 12 malam sampai jam satu pagi itu ada intervensinya Pak JK. Saya kan suka terus terang. Pak JK boleh enggak ngaku, saya dengar kok teleponnya," kata Zulkifli Mei 2017.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan kehadiran JK bersama Anies dalam beberapa waktu belakangan ini menjelang pendaftaran capres dan cawapres tak terlepas dari posisi JK yang ikut mendukung Anies pada Pilkada Jakarta 2017 lalu.

"Kita tahu bahwa JK adalah yang mendorong Anies menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tidak heran jika JK akhir-akhir ini selalu bersama-sama Anies," kata Ujang kepada CNNIndonesia.com.

Ujang menilai peluang JK menjadi 'king maker' sangat mungkin terjadi, mengingat Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) ingin istirahat pada Pilpres 2019. Ia menilai JK akan lebih memilih mendorong Anies berkaca pada Pilkada Jakarta lalu.

Namun, menurut Ujang, dengan melihat dinamika politik yang terjadi saat ini, bisa saja JK mendorong Anies menjadi cawapres mendampingi Jokowi sebagai posisi tawarnya terhadap pemerintah selanjutnya.

"Bisa saja Anies berpasangan dengan Jokowi karena didukung oleh JK, sebagai 'bargaining' posisi. Jika JK tidak maju yasudah Anies saja di situ. Kira-kira ada keterwakilan dari kelompok JK," ujarnya.

Kepentingan Bisnis

Ujang mengatakan selepas tak memiliki posisi dalam kancah politik nasional, JK tentu tetap ingin memiliki pengaruh.

Menurutnya, salah satu langkah yang bisa diambil oleh JK adalah dengan mendukung seseorang maju, dalam hal ini Anies dan membuat posisi tawar dengan petahana.

JK merupakan seorang pengusaha yang memiliki gurita bisnis cukup besar, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur. Perusahaan-perusahan memiliki relasi dengan JK di antaranya Kalla Group, Bosowa Group, Bukaka Group, dan Intim Group.

Untuk Kalla Group, imperium bisnis keluarga JK ini merambah berbagai jenis bidang usaha di antaranya otomotif, konstruksi, energi, keuangan, properti, dan transportasi. Selain itu, Kalla Group juga membawahi Sekolah Islam Athirah dan Yayasan Kalla.

Dengan keberadaan gurita bisnisnya tersebut, Ujang tak memungkiri bila JK memiliki kepentingan dalam mengambil langkah politik pada Pilpres 2019 nanti.
JK 'King Maker' di Pilpres 2019Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengunjungi Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). (Biro Wapres)

Menurutnya, tak hanya JK, semua politisi yang memiliki latar belakang pengusaha juga memiliki kepentingan untuk 'mengamankan bisnisnya'.

"Semua (tidak hanya JK), politik itu selalu ada kaitan dengan bisnis, saya tidak mengatakan hanya Pak JK, semuanya," kata Ujang.

"Semua politis secara pribadi maupun golongan atau kelompok, kalau dia bukan pengusaha dia akan bina pengusaha, kalau memang dia pengusaha sendiri ya akan memperbesar kekuasan dan bisnisnya," ujarnya melanjutkan.

Ujang lantas mengambil contoh Ketua Umum NasDem Surya Paloh dan Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo. Ujang menyebut kedua tokoh tersebut meski telah memiliki usaha yang terbilang sukses, namun tetap ingin terjun ke dunia politik.

"Artinya politik itu semuanya ada dalam kerangka bisnis, dalam konteks Indonesia. Cuma bisa kita buktikan, itu sah-sah saja selama tidak melanggar aturan," tuturnya.

Meskipun demikian, kata Ujang langkah politik JK pada Pilpres 2019 ini akan tergantung pada deal politiknya dengan Jokowi. Menurut Ujang, bila ada kesepakatan politik dengan Jokowi, seperti tetap menempatkan orang-orang JK dalam pemerintah, suara JK tentu bulat ke mantan Wali Kota Solo itu.

"Misalkan Jokowi disokong oleh JK, tadi misalkan pak JK menitipkan menteri-menteri yang dari kelompoknya, atau memang diberikan peluang bersama-sama menbangun bisnis, kalau itu bisa deal dengan Jokowi, saya rasa Pak Jk masih mendukung Jokowi," kata dia.
(ugo/gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER