Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Komisaris Jenderal Syafruddin membantah hasil survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan yang menyebut 41 masjid lembaga pemerintah yang tersebar di Jakarta terindikasi terpapar paham radikal.
Menurutnya, masjid merupakan tempat sakral yang tidak mungkin menjadi tempat radikal.
"Saya sangat membantah kalau ada yang mengatakan masjid itu tempat radikal. Masjid itu tempat suci," kata Syafruddin di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan pada Selasa (10/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menegaskan penyebaran paham radikal di masjid hanya dilakukan oleh oknum-oknum tertentu saja.
Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri) itu meminta pihak-pihak yang hendak melakukan penelitian agar lebih berhati-hati dan menggunakan standar yang baik.
"Tidak mungkin radikal, kalau pun ada radikal pasti orang, pasti bukan masjid. Makanya hati-hati, jangan sampai dilaknat oleh Allah menuduh masjid radikal," tuturnya.
P3M dan Rumah Kebangsaan menyebut ada 41 masjid lembaga pemerintah yang tersebar di Jakarta terindikasi terpapar paham radikal.
Temuan ini berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 100 masjid pemerintahan di Jakarta. Penelitian dilakukan di 35 masjid di Kementerian, 28 masjid di Lembaga Negara dan 37 masjid di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ketua Dewan Pengawas P3M Agus Muhammad mengatakan temuan ini berdasarkan survei yang dilakukan setiap hari Jumat dari tanggal 29 September hingga 21 Oktober 2017.
Data yang diperoleh melalui bahan khotbah Salat Jumat yang diambil melalui rekaman audio maupun video.
Senada, cendekiawan muslim Azyumardi Azra berpendapat bahwa tak ada masjid yang radikal. Menurut dia, yang ada adalah penceramah yang mengajarkan paham ekstrem yang tak sejalan dengan NKRI dan Pancasila.
"Orangnya yang radikal yang suka memberikan ceramah atau khotbah Jumat. Jadi ustaz ustaznya itu yang saya kira perlu ditertibkan," kata Azyumardi.
Dia pun mendukung langkah Kementerian Agama untuk membuat daftar ulama yang tidak ekstrem. Penceramah, katanya, harus mendapatkan sertifikasi dari kementerian agama, MUI, atau NU dan Muhammadiyah.
"Ide soal daftar 200 penceramah itu sebenarnya baik. Cuma perlu disempurnakan," katanya.
Azra melanjutkan bahwa tanpa sertifikasi atau daftar itu sulit untuk melihat rekam jejak seorang dai. Padahal, para dai ekstrem tersebut bisa mengkontaminasi masjid apabila diizinkan berkhotbah.
Selain itu, dia juga meminta kementerian dan BUMN tidak menyerahkan seluruhnya soal penceramah pada pengurus masjid.
Dia juga meminta dewan pengurus masjid berhati-hati ketika memilih ustaz bahkan meski ustaz tersebut terkenal.
"Apakah penceramahnya suka marah marah atau keras nah itu tidak bisa dibiarkan lagi," katanya.
(ugo/sur)