Jakarta, CNN Indonesia --
Sistem zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2018 memicu kekacauan di sejumlah daerah. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018 dianggap sebagai muara kegaduhan tersebut.
Sistem zonasi ini mulanya diterapkan sebagai strategi pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses dan mutu pendidikan secara nasional. Namun kenyataan di lapangan berkata lain.
Puluhan ribu pendaftar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jawa Tengah menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) palsu alias sebenarnya orang mampu demi diterima di sekolah favorit. Sementara sejumlah sekolah di Solo malah kekurangan murid karena berlokasi jauh dari permukiman penduduk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus lain, kisruh PPDB jalur mandiri di Lampung dinilai tidak memiliki payung hukum.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai Permendikbud 14/2018 memiliki banyak kelemahan, sehingga menuai banyak masalah. Padahal peraturan yang diteken Menteri Muhadjir Effendy pada 2 Mei 2018 itu bertujuan untuk pemerataan pendidikan dan meminimalisasi mobilitas siswa ke sekolah tertentu.
Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo mengatakan pengertian di sejumlah pasal Permendikbud 14/2018 itu cukup bias.
"Kami rapat dengan teman-teman di daerah dan menerima laporan bahwa PPDB tahun ini makin gaduh," ujarnya kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (11/7).
Masalah pertama, Heru menyoroti kelemahan Permendikbud 14/2018 pada Bab III tentang Tata Cara PPDB.
Pada Bagian Keenam tentang Biaya di pasal 19 berbunyi, "
Pemprov wajib menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah provinsi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima dibuktikan dengan SKTM."
Sementara pada Bagian Keempat tentang Sistem Zonasi, dijelaskan bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat.
 Sejumlah warga melakukan aksi unjuk rasa sistem Zonasi Sekolah di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Senin (9/7). (ANTARA FOTO/Heru Salim) |
Dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima, minimal sekolah menerima 90 persen calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Sisanya, sebanyak lima persen untuk jalur prestasi dan lima persen lagi untuk anak pindahan atau terjadi bencana alam atau sosial.
Mulai dari pasal satu sampai enam Bagian Keempat tentang Sistem Zonasi, tidak satu pasal pun menyebut SKTM.
Dari pemahaman pasal di atas, kata Heru, masalah SKTM tidak ada sangkut pautnya dengan proses penerimaan siswa baru. Dengan demikian, penerimaan dengan jalur SKTM sebagaimana terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah tidak berlandaskan payung hukum.
"Dalam praktiknya, ternyata daerah mengimplementasikannya beda. Di dalam PPDB ini ada jalur (menggunakan) SKTM, ini (pemerintah) daerah menggunakan aturan yang mana?" kata Heru.
Masalah kedua terlihat pada pasal 16 ayat 2 yang berbunyi, "
Domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah didasarkan pada alamat Kartu Keluarga (KK) yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB."
Menurut Heru, pasal tersebut tidak mengukur dengan jelas alasan migrasi dukcapilnya dari suatu daerah ke daerah lain. Dia menilai banyak migrasi dukcapil digunakan hanya untuk memperoleh peluang masuk sekolah negeri atau sekolah favorit.
"Akibatnya, tertutup peluang siswa alih jenjang di zona tersebut," ujar Heru.
FSGI menemukan fakta tersebut dilakukan oleh siswa berinisial F dari Cibinong, Bogor. F bersama kakaknya menumpang KK di keluarga saudaranya yang berada di Kramat Jati, Jakarta Timur.
Selanjutnya, F diterima bersekolah di SMA negeri di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur. Sementara kakaknya diterima di salah satu SMA negeri di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Guru memeriksa berkas murid baru saat daftar ulang PPDB di SMPN 1 Cimenyan, Kabupaten Bandung. (ANTARA FOTO/Heru Salim) |
Masalah ketiga, terkait pengertian 'radius terdekat' yang terdapat pada pasal 16 ayat 1 berbunyi, "
Sekolah yang diselengarakan oleh Pemda wajib menerima calon peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima."
Menurut Heru, pasal tersebut membatasi sekolah-sekolah yang ada di pusat kota dan jauh dari konsentrasi pemukiman warga. Sehingga, sekolah-sekolah yang saling berdekatan itu kekurangan pendaftar.
FSGI menemukan kasus serupa di Solo, yakni SMPN 3, SMPN 25, dan SMPN 26.
Kelemahan pasal tersebut juga merugikan sekolah-sekolah yang tidak terpenuhi daya tampungnya. Akibatnya, guru di sekolah itu tidak terpenuhi jumlah jam mengajar 24 jam. Mereka terancam tak mendapat tunjangan sertifikasi yang selama ini diterima.
"Kalau sekolah enggak kebagian murid, guru mengajar apa? (Jam mengajar) kurang dari 24 jam seminggu. Akhirnya, dia enggak bisa mendapat tunjangan sertifikasi guru," kata Heru.
Masalah keempat, kata Heru, masih terkait dengan pasal 16 ayat 1. Persoalan ini terjadi di tiga kecamatan di Kabupaten Blora, Jateng; Kecamatan Jepon, Kecamatan Jiken dan Kecamatan Bogorejo. Tiga kecamatan tersebut menjadi satu zona, di mana hanya berdiri satu SMA negeri.
Dengan demikian, Heru menyebut siswa alih jenjang yang berada paling jauh dari sekolah tidak ada peluang untuk diterima.
Menurut laporan jaringan FSGI, di ketiga kecamatan tersebut, siswa yang ingin alih jenjang sekitar 40 kelas. Sementara, ada tujuh kelas yang diperebutkan di SMAN 1 Jepon. Adapun kecamatan yang paling jauh adalah Kecamatan Jiken. Alhasil, siswa yang alih jenjang dari Kecamatan Jiken berpeluang sangat minim.
"Jika demikian, siswa dari radius yang paling jauh dalam satu zona tersebut yang dirugikan. Tentu ini tidak adil," kata Heru.
Heru menilai penyimpangan praktik PPDB sistem zonasi di daerah dari pedoman Permedikbud 14/2018 lantaran kurang sosisalisasi.
Menurutnya, Kemendikbud tidak memberikan petunjuk teknis yang jelas mengenai PPDB. Seharusnya, dinas pendidikan di level provinsi/kabupaten/kota memiliki pemahaman teknis yang sama.
"Kami menyimpulkan ada
misunderstanding terhadap permendikbud. Nah, sekarang apa pemerintah pusat alias Kemendikbud mau disalahkan jika disebut kurang sosialisasi? Pasti akan balik menyalahkan pemda dengan mengatakan, 'Kan Permendikbud 14/2018 sudah jelas, kenapa pemda enggak bisa menginterpretasikannya?" kata Heru.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy diminta membuat perbaikan Permendikbud 14/2018. (CNNIndonesia/Safir Makki) |
Rekomendasi FSGIMelihat kegaduhan-kegaduhan PPDB sistem zonasi yang bersandar pada Permendikbud 14/2018 itu, FSGI merekomendasikan beberapa hal.
Pertama, Bab III Bagian Keenam perlu diperbaiki, khususnya pasal 19 ayat 1-3 sehingga tidak menimbulkan kerancuan-kerancuan dalam alih jenjang baik dari SMP ke SMAN/SMKN dalam bentuk PPDB jalur SKTM.
Heru mengatakan perbaikan tersebut bisa dengan membuat Surat Edaran Mendikbud untuk menjelaskan secara gamblang tentang pasal-pasal yang dianggap bermasalah.
"Sebab untuk perbaikan Permendikbud tentu membutuhkan waktu agak lama, sedangkan PPDB sedang berlangsung," katanya.
Kedua, perlu ada penegasan alasan pada pasal 16 ayat 2 dalam migrasi dukcapil dalam satu KK paling lambat enam bulan.
Ketiga, Kemendikbud bersama Dinas Pendidikan terkait seharusnya memetakan kembali zonasi secara cermat hingga tingkat kelurahan/desa. Selain itu perlu ada peningkatan sarana pendidikan seperti mendirikan sekolah-sekolah di tiap kecamatan untuk alih jenjang.
"Hal ini agar terjadi pemerataan pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan untuk kemajuan pendidikan dasar dan menengah," kata Heru.
Keempat, Heru mengimbau kepada para orang tua dan pengurus RT/RW agar bertindak jujur terkait SKTM. Pembuatan SKTM oleh oknum keluarga mampu hanya demi bisa bersekolah di sekolah favorit tertentu, dapat merugikan peluang calon siswa lainnya.
(pmg/gil)