Jakarta, CNN Indonesia -- Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengkritik langkah pemerintah melakukan divestasi 51 persen saham
PT Freeport Indonesia dengan kesepakatan awal berupa Head of Agreement (HoA) yang diteken pemerintah bersama Freeport dan Rio Tinto, pada Kamis (12/7) kemarin.
Dari catatan JATAM, sejumlah divestasi di Indonesia selama ini justru kerap gagal dan hanya menguntungkan oligarki dan mafia pertambangan belaka. Hal ini terjadi pada divestasi saham pertambangan PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur dan PT Newmont Nusa Tenggara yang saat ini telah berubah nama menjadi AMMAN di Nusa Tenggara Barat.
"Dalam kasus korupsi divestasi saham KPC, pemerintah nasional dan daerah telah kehilangan kesempatan mendapatkan saham divestasi dan kerugian negara mencapai Rp576 miliar," ujar aktivis JATAM Melky Nahar melalui keterangan tertulis yang diterima
CNNIndonesia.com, Jumat (13/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal serupa juga terjadi dalam kasus PT AMMAN yang membuat pemegang kontrak karya generasi keempat yang menambang konsentrat tembaga, emas, dan perak diduga terlilit korupsi karena kegagalan divestasi saham.
Melky mengatakan kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa divestasi saham ini tak lebih dari arena bancakan para elit yang menguntungkan pihak swasta.
"Sementara dalam kasus Freeport semakin jelas menunjukkan bahwa sebuah kebijakan negara dengan mudah bisa dinegosiasikan oleh korporasi," katanya.
Atas kebijakan tersebut, menurut Melky, Freeport dapat dengan mudah mendesak pemerintah menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2014 untuk memberikan toleransi pengunduran kewajiban pengolahan dan pemurnian melalui pembangunan smelter. Beleid tersebut seolah menjadi 'kado indah' bagi Freeport agar tak merogoh kantong lebih banyak untuk melakukan pemurnian komoditas dalam negeri.
Di sisi lain, dari aspek lingkungan hidup JATAM telah mencatat sejumlah pelanggaran lingkungan hidup. Salah satunya, kata Melky, terdapat 22 kegiatan dan operasi Freeport yang melanggar Analisis Mengenai Dampak dan Lingkungan (Amdal).
"Beberapa temuan itu misalnya perluasan ukuran tambang terbuka grasberg dari 410 hektar menjadi 584 hektar yang tidak dicantumkan dalam Amdal," ucap Melky.
Melky mengatakan lapisan tanah dan batu yang dibongkar untuk perluasan itu telah melewati batas maksimal Amdal dari 2,67 miliar ton menjadi 2,80 miliar ton.
Selain itu, lanjutnya, terdapat lima sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah beracun oleh Freeport yakni sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi, dan Aimoe. Bahkan sungai Ajkwa di Mimika telah menjadi tempat pembuangan limbah tailing sejak tahun 1998 hingga 2016.
Lebih lanjut Melky menuturkan, dari hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan bahwa Freeport memiliki masalah dalam penggunaan kawasan hutan lindung seluas minimal 4.535 hektar tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) selama operasi produksi. Akibatnya timbul kerugian negara hingga Rp185 triliun.
Atas berbagai dampak tersebut, Melky menilai divestasi saham Freeport itu tak lebih dari praktik bisnis biasa dengan pemerintah Indonesia. Menurutnya, kesepakatan itu tak menyelesaikan pelanggaran hukum maupun permasalahan lingkungan hidup yang selama ini terjadi. Apalagi sejak kontrak karya pertama ditandatangani pada tahun 1967, kata dia, kehadiran Freeport tak pernah disetujui oleh masyarakat Papua.
"Menyetujui divestasi saham sama artinya dengan menyetujui Freeport terus di Papua dan melanjutkan pembongkaran kekayaan itu tak ubahnya seperti penjajahan," katanya.
Melky mengatakan kehadiran Freeport justru mendorong eskalasi kerekasan terhadap rakyat Papua, penggusuran kampung, hingga penghancuran lingkungan hidup.
"Jelas bahwa kesehahteraan yang selama ini diklaim dihadirkan Freeport omong kosong," imbuhnya.
Pihaknya meminta pemerintah segera menghentikan dan menutup operasi pertambangan Freeport di Papua. Menurut Melky, mempertahankan operasi Freeport adalah sebuah kesalahan dan upaya bisnis semata. Ia menegaskan, Freeport harus dituntut memulihkan kerusakan yang ditimbulkan selama 51 tahun beroperasi di Papua.
"Indonesia mampu sejahtera tanpa tambang Freeport," tegasnya.
(dal/dal)