Dorodjatun: Utang Sjamsul Nursalim Dibahas di Ratas Megawati

FHR | CNN Indonesia
Selasa, 17 Jul 2018 00:28 WIB
Mantan Menko Ekuin Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menjadi saksi di sidang lanjutan kasus korupsi penerbitan SKL BLBI atas terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.
Terdakwa kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) sekaligus Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, Senin (16/7).

Dalam kesaksiannya, Dorodjatun menyebut utang PT Dipasena milik Sjamsul Nursalim pernah dibahas dalam Rapat Terbatas (Ratas) kabinet yang dipimpin Megawati Sukarnoputri selaku Presiden saat itu. Ratas dilaksanakan pada 11 Februari 2004 dan dihadiri oleh Wakil Presiden Hamzah Haz, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Keuangan Boediono, Menteri BUMN Laksamana Sukardi, Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra, serta Ketua BPPN saat itu Syafruddin Arsyat Temenggung.

"Ada 30 obligor yang diperintahkan untuk dipertimbangkan SKL [Surat Keterangan Lunas] dan ini [Dipasena] yang paling terakhir, kata bersama kabinet Presiden Megawati," ujar Dorojatun dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan, persoalan itu dibawa ke dalam ratas karena penyelesaian utang perusahaan milik Sjamsul membutuhkan keputusan yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres).

"Karena sejarah masa lalu dan ini penandatangan MSAA [Master Settlement and Acquisition Agreement] dalam kerja sama kita dengan IMF lambat laun akan ditanyakan, karena masalah ini demikian penting maka harus diselesaikan dan didesak IMF untuk disegerakan road map ke depan, jadi harus memakai instruksi presiden [inpres]," kata Dorodjatun.

Kemudian, jaksa memutar rekaman perbincangan di dalam ratas tersebut. Saat itu, Syafruddin menjelaskan kepada Presiden Megawati bahwa dirinya diminta Dorodjatun menjelaskan perihal beberapa persoalan, salah satunya terkait PT Dipasena.

"Ini kami diminta Pak Djatun untuk melaporkan beberapa hal yang memang pelik, tapi bisa kita selesaikan. Pertama adalah penyelesaian utang petambak Dipasena, ini kami laporkan bahwa kami tidak berkoordinasi dengan Pak Dai mengenai keamanannya ini penting, karena ini delapan desa sudah berjalan dengan normal, karena mereka membutuhkan suatu modal kerja baru, tapi modal kerja baru itu tidak akan masuk kalau kita tidak merestrukturisasi terhadap utang petambak, bukan milik company, karena utang tersebut sudah milik negara, kami ambil," demikian kata Syafruddin sebagaimana dalam rekaman.

Kemudian, dalam rekaman itu juga Syafruddin menjelaskan bahwa para petambak hanya mampu membayar utang sebesar Rp1,1 triliun dari jumlah total Rp3,9 triliun. Syafruddin pun meminta dilakukan penghapusan utang sebesar Rp2,8 triliun.

"Sisanya Rp2,8 triliun itu untuk di-write off, karena itu akan membebani dari petani tambak dan dia tidak bisa bankable untuk meminjam kembali. Kalau dilihat dari recovery rate-nya sebenarnya ini kira-kira 25 persen petani tambak ini. Saya kira cukup baik dari recovery rate, karena UKM lain pun berkisar itu," kata Syafruddin lagi sebagaimana dalam rekaman.

Mendengar rekaman bahwa Syafruddin melapor atas arahan Dorodjatun, jaksa pun mencoba mengkonfirmasi.

"Di awal [rekaman], Pak Syafruddin mengatakan diminta Pak Djatun untuk melaporkan. Apakah memang saksi yang minta terdakwa melaporkan ke Presiden?" tanya jaksa Wayan kepada Dorodjatun.

Dorodjatun pun menjawab dengan alasan, persoalan BLBI merupakan masalah yang cukup besar, sehingga wajar bila dibawa ke ratas.

"Pada saat itu kenapa Pak Dai [Kapolri] terbawa, saya saja mau ke lapangan dilerai jangan, ini penting dibawa ke sidang kabinet karena menyangkut selain Dipasena, juga menyangkut desa-desa dan apa yang menjadi masalah yang lebih besar silakan bawa ke kabinet," jawab Dorodjatun.

Jaksa kemudian meminta Dorodjatun menjelaskan soal utang yang jumlahnya sebesar Rp3,9 triliun seperti disebutkan dalam rekaman. Sebab, total kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan sekitar Rp4,8 triliun.

"Rp3,9 triliun itu bisa dijelaskan?" tanya jaksa.

Dorodjatun menjawab, angka tersebut berdasarkan perhitungan BPPN.

"Itu utang petambak, tapi ini juga harus dibantu kredit baru dan sebagainya. Saya tidak tanya dari mana sumber Rp3,9 trilun menjadi utang petambak, karena saya harus percaya BPPN karena mereka yang kuasai informasi dan data dari obligor, saya sangat tergantung apa yang disampaikan BPPN," kata Dorodjatun.

Dalam perkara ini, Syafruddin didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun lantaran menerbitkan SKL BLBI kepada Sjamsul pada 2004 silam. Ia didakwa bersama dengan Dorodjatun, Sjamsul dan istrinya Itjih Nursalim.

Syafruddin diduga telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham BDNI. (res)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER