Jakarta, CNN Indonesia -- Keluarga korban pelanggaran HAM berat menolak berkomunikasi dengan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP)
Moeldoko untuk menyelesaikan kasus. Mereka memilih berkomunikasi langsung dengan
Presiden Joko Widodo meskipun hanya melalui surat.
Maria Catarina Sumarsih, ibunda mendiang Benardinus Realino Norma Irawan mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I, mengaku sama sekali belum berkoordinasi dengan Moeldoko.
"Belum, ngapain? Dia kan tentara," kata Sumarsih yang mewakili Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) saat ditemui di kantor KontraS, Jakarta, Kamis (19/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Moeldoko adalah orang yang ditunjuk Jokowi sebagai perantara pihak Istana untuk mengabarkan kepada keluarga korban mengenai perkembangan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Penunjukan itu disampaikan usai Jokowi bertemu perwakilan keluarga korban di Istana Merdeka, Jakarta, pada 31 Mei lalu.
Sumarsih menilai Moeldoko sama seperti Menko Polhukam Wiranto berasal dari kalangan militer yang punya semangat esprit de corps. Ia berpendapat akan sia-sia belaka jika berkomunikasi dengan Moeldoko.
Selain itu, mantan Panglima TNI itu juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Hanura, partai yang didirikan Wiranto.
 Presiden Joko Widodo didampingi Moeldoko bertemu keluarga korban pelanggaran HAM di Istana Merdeka, Jakarta. (CNN Indonesia/Christie Stefanie) |
Sumarsih dan sejumlah rekannya memilih mengirim surat untuk presiden melalui Kementerian Sekretariat Negara. Setiap agenda yang diusung pada Aksi Kamisan selalu ditembuskan ke Jokowi.
Sumarsih percaya surat-menyurat tersebut lebih baik dilakukan dalam menyampaikan aspirasi ke Istana ketimbang mengejar Moeldoko.
"Orang Setneg itu baik, mau bantu dan proses surat-menyurat itu bagus di Setneg," kata Sumarsih.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani mendukung segala cara yang ditempuh keluarga korban. Namun ia menyoroti respons pemerintah yang hingga kini tak punya solusi konkret menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ia menduga Jokowi membiarkan penyelesaian kasus agar ditangani Wiranto. Hal itu tampak dari manuver Wiranto yang mengusulkan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang tinggal diteken Jokowi.
"Kalau ditandatangani Presiden, ini sekali lagi bentuk dari kepengecutan seorang Presiden dan bentuk bahwa dia sebenarnya di bawah kontrol aktor-aktor pelanggaran HAM di masa lalu," tegas Yati.
Ia berkata korban dan keluarga menantikan Jokowi membuat kebijakan yang tepat sesuai yang termaktub dalam program Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Namun belakangan, Yati melihat janji itu sebagai komoditas politik belaka.
"Dan dia (Jokowi) melakukan pembiaran dengan tidak diselesaikannya berbagai kasus HAM berat. Dalam konteks itu, dia sudah masuk kategori pelanggar HAM," kata Yati.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho) |
Keluarga Korban Desak Hentikan DKNKontraS menilai pemerintah tak punya alasan kuat untuk membentuk Dewan Kerukunan Nasional dari aspek mana pun. Yati menilai tujuan pembentukan DKN sudah cacat jika merujuk peraturan hukum yang berlaku dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
Yati menyebutkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak memuat wewenang Menko Polhukam dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Beleid itu mengamanatkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM adalah mandat Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik.
Alasan berikutnya, menurut Yati, posisi Wiranto sebagai inisiator DKN menjadi tidak kredibel karena dia merupakan pihak yang diduga turut terlibat dalam pelanggaran HAM di masa lalu.
"Sehingga kepentingan dan objektivitas dari DKN ini sangat dipertanyakan," ujar Yati.
Yati mengatakan posisi Wiranto selaku Menko Polhukam tidak memungkinkan untuk membuat keputusan atau inisiatif membentuk DKN. Hal ini merujuk pada Perpres Nomor 7 Tahun 2015 dan Perpres 43 Tahun 2015 yang menyebutkan kewenangan Menko Polhukam hanya sebatas koordinasi.
Sementara Sumarsih menilai Wiranto kerap menyampaikan pernyataan yang berbeda-beda terkait ide pembentukan DKN.
"Pak Wiranto itu ngomong mencla-mencle. Mulanya DKN itu dibilang untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, kami kritisi, sampai bikin spanduk tolak DKN. Akhirnya, dia bikin pernyataan DKN itu untuk menyelesaikan konflik sosial," kata Sumarsih.
Wiranto (kiri) dan Prabowo Subianto saat masih aktif sebagai perwira ABRI. (REUTERS) |
Sumarsih dan rekan-rekan senasibnya pun meminta wacana DKN segera dihentikan. Mereka juga memohon kepada Presiden Joko Widodo agar mengambil alih penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dari tangan Wiranto.
Di satu sisi, Sumarsih mengingatkan pemerintah punya pegangan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yakni laporan penyelidikan oleh Komnas HAM.
Sumarsih berharap Jokowi bisa memerintahkan jajarannya untuk menindaklanjuti laporan itu asalkan orang yang ditunjuk bukan Wiranto.
"Kalau yang diberi tugas mempelajari dan mengkaji berkas-berkas Komnas HAM itu orang yang terduga pelaku, hasilnya seperti apa? Ya, Indonesia negara impunitas tidak layak disebut sebagai negara hukum," ujar Sumarsih.
(pmg/gil)