Jakarta, CNN Indonesia -- Pendiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Yusuf Supendi dan pengacara Rizieq Shihab,
Kapitra Ampera, mencalonkan diri sebagai anggota legislatif 2019 melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu dinilai sedang menjalankan strategi meredam isu anti-Islam yang kerap dituduhkan selama ini.
Yusuf menjadi caleg PDIP untuk daerah pemilihan Jawa Barat V. Sedangkan Kapitra menjadi caleg untuk daerah pemilihan di Riau II.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini strategi, dengan merekrut ulama atau kalangan pro Islam, ini menjadi langkah yang relatif mudah menetralisir," kata pengamat komunikasi politik dari Universitas Brawijaya Malang, Anang Sudjoko kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (19/7).
Anang berpendapat, isu anti-Islam kian menguat di tubuh PDIP. Pada pemilu 2014, tudingan yang menyebut PDIP diisi orang-orang berlatar belakang eks kader Partai Komunis Indonesia (PKI) bermunculan di ruang publik, khususnya media sosial.
Isu serupa juga beredar jelang pilgub DKI Jakarta 2017. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang diusung PDIP saat itu diseret ke penjara karena isu penistaan agama yang digerakkan Aksi Bela Islam.
"Jadi saat ini kalau kita perhatikan dalam perpolitikan ada fenomena anti-ulama, dalam satu tahun terakhir begitu menguat di publik. PDIP dianggap partai yang mendukung gerakan anti-ulama," kata dia.
Politikus PDIP Masinton Pasaribu menyangkal masuknya Yusuf dan Kapitra di jajaran caleg sebagai upaya meredam isu anti-Islam di partainya.
Menurutnya, selama ini PDIP juga diisi kelompok muslim. Beberapa di antaranya, Guru Besar UIN Alauddin Hamka Haq dan cendekiawan muslim Jalaludin Rakhmat.
"Bagi kami memadukan unsur nasionalis dengan agamais, dengan diisi kader berlatar belakang agama bukan hal baru," kata Masinton.
Ia menambahkan upaya merekrut orang-orang yang dekat dengan umat merupakan salah satu cara memadukan idealisme nasionalis dan agamais.
Menurutnya, isu negatif dalam politik sengaja dihembuskan oleh pihak yang tidak senang dengan PDIP.
"Mereka mengembuskan stigma negatif terhadap PDIP karen hanya PDIP yang memiliki karkater kuat dalam mengembangkan prisip kebangsaan melalui Pancasila," ujarnya.
Sekjen FUI Al Khaththath saat memberikan tausiah di DPP FPI Markaz Syariah, Petamburan, Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
FUI Bisa Memahami KapitraSekjen Forum Umat Islam (FUI) Al Khaththath mengaku tidak heran dengan Kapitra Ampera yang menjadi calon legislatif PDIP.
Menurutnya, hal itu sah-sah saja karena merupakan pilihan politik Kapitra untuk bersandar di partai mana pun yang dikehendakinya.
"Itu pilihan politik dia, bukan pilihan politik kita," kata Al-Khaththath saat ditemui
CNNIndonesia.com di Masjid Baiturrahman, Jakarta Selatan.
Al Khathathath mengaku tak kecewa dengan pilihan politik Kapitra. Dia menyebut sudah tahu kalau Kapitra bakal bergabung dengan kubu yang bersebrangan dengan kelompoknya.
"Kita sudah paham dia bakal begitu, ya paham," kata Al Khaththath.
Menurutnya, Kapitra bukan orang yang sudah berjuang atas nama Islam sejak lama. Kapitra baru muncul saat euforia Aksi Bela Islam.
"Tiba-tiba dia muncul (saat aksi bela Islam) dari mana datangnya saya tidak paham karena kalau dia kemudian menghilang saya jadi paham dia. Dia bukan orang pergerakan yang lama sama saya," ujarnya.
Al Khaththath mengatakan apabila Kapitra berkomunikasi terlebih dahulu sebelum masuk ke PDIP sudah pasti dia bakal melarangnya. Dia akan merekomendasikan partai-partai lain yang sekiranya tergabung dalam Koalisi Umat sepeti PAN, PBB, Gerindra, PKS, dan Partai Berkarya.
"Kalau dia minta izin ke saya dulu, saya larang saya suruh saja ke PKS, PAN, atau PBB," ujarnya.
Tak Ada Musuh SejatiDirektur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai migrasi seseorang ke partai lain merupakan hak pribadi kader partai.
Ujang mengatakan terkadang tidak semua pendiri partai cocok dengan perkembangan parpol yang didirikannya, misalnya, perubahan ideologi atau arah pembangunan partai.
"Mungkin di PKS, Yusuf sudah tidak nyaman lagi sehingga membutuhkan suasana baru atau perahu baru yang bisa dijadikan alat perjuangan," kata Ujang.
Pendiri PKS Yusuf Supendi maju sebagai bakal caleg dari PDIP. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho) |
Ujang berpendapat seharusnya parpol--dalam hal ini PKS-- merawat kadernya agar tidak pindah ke partai lain.
Persoalannya, penggantian kepemimpinan parpol juga diikuti dengan perubahan kebijakan. Persaingan antarkubu di internal parpol juga menjadi kendala.
"Kalau ada pemilihan ketum parpol tertentu, biasanya terjadi yang menang berkuasa dan yang kalah disingkirkan," kata Ujang.
Ujang menduga Yusuf sebagai tokoh senior tidak cocok dengan kepemimpinan PKS yang baru, baik secara pemikiran, ideologi, maupun garis kepartaian.
Menurut Ujang, PDIP dapat dikatakan memiliki strategi komunikasi politik yang baik karena mampu menggaet kader PKS yang merupakan oposisi di parlemen.
Pasalnya, selama ini tuduhan yang dilemparkan kepada partai berlambang banteng moncong putih itu adalah partai dinasti keluarga.
Dengan bergabungnya Yusuf hingga Kapitra, Ujang melihat hal itu sebagai upaya PDIP mematahkan tuduhan bahwa partainya anti-Islam.
Meski demikian, Ujang menilai organisasi sayap PDIP yaitu Baitul Muslimin yang diketuai Hamka Haq sesungguhnya telah mampu menunjukkan bahwa PDIP adalah partai terbuka untuk Islam.
"Baitul Muslimin mensosialisasikan PDIP adalah bagian dari kelompok Islam. Menunjukkan PDIP adalah partai terbuka juga untuk muslim," kata Ujang.
Sementara itu, pengamat politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai perpindahan kader antarpartai menunjukan betapa para politisi sangat cair dan dinamis.
"Sehingga, membenarkan aksioma dalam politik bahwa tidak ada teman sejati dan tidak ada musuh sejati," kata Emrus
Namun, Emrus menyayangkan para politikus yang pindah partai tak pernah menjelaskan secara konkrit alasannya kepada publik. Padahal, operasional parpol dibiayai oleh uang rakyat melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Dia menyebut pertanggungjawaban parpol kepada publik juga harus jelas.
"Dari partailah lahir para pemimpin kita, baik di eksekutif maupun legislatif. Partai harus menjelaskan kenapa partai menerima dan kenapa partai ditinggal," kata Emrus.
(pmg)