Jakarta, CNN Indonesia -- Memindahkan narapidana korupsi ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan, Jawa Tengah dinilai pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar tidak akan menyelesaikan masalah. Menurutnya, praktik suap tetap bisa terjadi di mana pun.
Kemungkinan pemindahan napi itu dibuka oleh Kementerian Hukum dan HAM, menyusul operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Kalapas Sukamiskin, Wahid Husen, Sabtu (21/7). Ia menerima suap untuk menyediakan fasilitas mewah di lapas.
Menurut Abdul, kasus suap di lapas tergantung pada pengawasan oleh dinas terkait, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM serta Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS). Abdul menduga, kasus suap di Lapas Sukamiskin melibatkan orang yang lebih tinggi lagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Oleh karena itu, tidak akan beres-beres seperti biaya sewa kamar sampai Rp200 juta itu. Sebenarnya diketahui, tetapi dibiarkan," ujar Abdul, seperti dikutip dari Antara.
Persoalan suap di lapas yang melibatkan Kalapas, bagi Abdul bukan barang baru. Sidak sudah pernah dilakukan semasa Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indraya menjabat. Saat itu, ia menemukan bahwa napi Arthalita Suryani alias Ayin di punya kamar mewan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta Timur. Namun, masalah itu tak juga mampu dibenahi.
"Kalau Menkumham tidak mampu membenahi, ya, mundur," ia menegaskan.
Jika pejabat terbukti korupsi, bahkan menterinya sendiri, lanjutnya, harus dipecat.
Pengamat hukum Margarito menilai, tidak baiknya sistem di Kemenkumham dan Dirjen PAS menjadi penyebab masalah itu terus berulang. "Saya menduga jangan-jangan kejadian OTT KPK di Sukamiskin itu hanya puncak gunung es saja," ujarnya, seperti dikutip Antara.
Menurutnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly harus menjelaskan dan membenahi permasalahan serta sistem kerja yang ada, alih-alih memindahkan para napi korupsi.
(antara/rsa)