Jakarta, CNN Indonesia -- Pasangan calon gubernur-wakil gubernur Papua Wempi Wetipo-Habel Melkias Suwae menuding Bupati Nduga Yairus Gwijangge bersikap tidak netral lantaran mengajak masyakarat di wilayahnya untuk memilih paslon Lukas Enembe- Klemen Tinal pada Pilkada 2018 lalu. Yairus disebut juga menjanjikan kemerdekaan Papua saat berkampanye untuk Lukas.
Hal itu dituturkan Wempi-Habel melalui kuasa hukummnya, Saleh, dalam sidang pendahuluan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (26/7).
"Terdapat pidato Bupati Nduga yang mengarahkan masyarakat agar memilih nomor urut 1 dengan percakapan dalam bahasa setempat yang jika diartikan dalam Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut," tutur Saleh di hadapan majelis hakim MK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"
Saya mau kasih tahu kamu bahwa untuk Papua Merdeka itu sekarang ada di tangan Lukas Enembe. Jadi, kamu kasih suara ke Lukas Enembe, nanti dia kasih kamu kemerdekaan Papua," lanjutnya.
Saleh tidak merinci kapan Bupati Nduga mengutarakan hal tersebut di hadapan masyarakat di wilayahnya. Saleh juga tidak menjabarkan berapa kali Bupati Nduga mengajak masyarakat dengan janji serupa.
Dia hanya mengatakan bahwa sikap Bupati Nduga itu merupakan salah satu kejanggalan dalam pelaksanaan pemilihan gubernur Papua di Nduga.
Kejanggalan lainnya yang dipaparkan Saleh adalah ketika sejumlah panitia pemilihan distrik (PPD) atau kecamatan menerbitkan hasil rekapitulasi suara tanpa melakukan pemungutan suara.
Saleh menganggap hal itu jelas sesuatu yang ganjil. Bagaimana mungkin hasil rekapitulasi dapat dibuat tanpa ada pemungutan suara.
"Berita acara rekapitulasi perolehan hasil dibuat oleh PPD tanpa ada pemilihan terlebih dahulu," tutur Saleh.
Soal ketidaknetralan ASN, Saleh mengatakan hal itu juga terjadi di Kabupaten Lanny Jaya. Saleh mengklaim ada sejumlah kepala dinas serta kepala distrik atau camat serta kepala desa yang mengarahkan masyarakat agar memilih paslon petahana.
"Bahkan bupati sampai turun langsung sendiri ke TPS," ucapnya.
Selanjutnya, Saleh mengatakan Komisioner KPU setempat dipaksa oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Lanny Jaya agar melaksanakan rapat pleno tanpa kehadiran Ketua KPU dan Ketua Panwas setempat. Rapat pleno yang dimaksud yakni untuk menetapkan rekapitulasi suara.
"Selanjutnya, ada pengancaman terhadap saksi Pemohon. Bahwa ada tekanan dan intimadasi yang dilakukan Tim Pemenangan Nomor Urut 1 kepada pendukung Pemohon," ucap Saleh.
Sidang MK ini merupakan tindak lanjut sengketa Pilgub Papua. Pasangan Jhon Wempi Wetipo-Habel Suwae keberatan dengan hasil rekapitulasi KPU yang memenangkan pasangan Lukas Enembe dan Klemen Tinal.
Rekapitulasi KPU sebelumnya menyatakan pasangan Lukas Enembe-Klemen Tinal meraih sebanyak 1.939.539 suara atau 67,54 persen dari total suara sah 2.871.547 suara.
Sedangkan pasangan Jhon Wempi-Habel Suwae memperoleh 932.008 suara atau 32,45 persen dari total suara sah.
Pilgub SumselSementara itu dalam sidang sengketa Pilgub Sumatra Selatan, pasangan calon Dodi Reza Alex Noerdin-Giri Ramanda menyatakan bahwa pelaksanaan Pilkada di wilayahnya mengandung banyak permasalahan sehingga mereka gagal menjadi pemenang.
Dodi Reza yang merupakan anak Gubernur Sumsel dua periode Alex Noerdin, menganggap ada sejumlah masalah yang terstruktur dan sistematis.
Hal tersebut diutarakan kuasa hukum dari paslon Dodi Reza Alex Noerdin-Giri Ramanda, Darmadi Djufri saat sidang pendahuluan di Mahkamah Konstitusi.
"Bahwa permasalahan dan dugaan pelanggaran pilkada yang terstruktur, sistematis, dan masif sangat banyak terjadi dalam proses tahapan," tutur Darmadi.
Darmadi mengklaim seluruh saksi pasangan calon Dodi Reza-Giri Ramanda di Kota Palembang tidak memperoleh salinan daftar pemilih tetap (DPT) dari kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) pada pemungutan suara 27 Juni lalu.
Padahal, menurut Darmadi, penyelenggara pemilu wajib memberikan salinan DPT kepada seluruh saksi dari masing-masing paslon.
Dia mengatakan hal tersebut merujuk dari Pasal 27 butir f dan Pasal 28 ayat (8) Peraturan KPU No. 8 tahun 2018.
Tanpa salinan DPT, Darmadi mengatakan saksi tidak bisa mengawasi berapa jumlah pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
"Apakah pemilih tersebut ada dalam DPT atau tidak, sehingga pemohon merasa KPPS tidak menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengakibatkan kerugian bagi Pemohon," tutur Darmadi.
Kejanggalan lain yang diutarakan Darmadi yakni soal legalitas panitia pemungutan suara (PPS) dan panitia pemilihan kecamatan (PPK) di Kota Palembang dan Kabupaten Muara Enim.
Darmadi mengatakan PPS dan PPK di kedua daerah tersebut tidak memiliki surat keputusan pengangkatan. Padahal, merujuk dari UU No 1 tahun 2015, surat keputusan pengangkatan wajib dimiliki penyelenggara pemilu.
Atas dasar itu dia menilai segala produk hukum yang dikeluarkan PPS dan PPK di Kota Palembang dan Kabupaten Muara Enim menjadi tidak sah. Termasuk hasil rekapitulasi di TPS dan kecamatan.
Dalam gugatannya, Darmadi meminta MK membatalkan keputusan KPU Sumatera Selatan tengan Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara tanggal 8 Juli. Dia juga memohon agar MK menghukum KPU Sumsel untuk melakukan pemungutan suara ulang di Kota Palembang dan Kabupaten Muara Enim.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Darmadi.
(wis/sur)