Sembalun, Lombok, CNN Indonesia -- Tatapan mata Amak Saleha terlihat kosong ketika memandang rumah yang ditempatinya selama puluhan tahun kini rata dengan tanah. Dia adalah salah satu korban
gempa berkekuatan 6,4 Skala Richter (SR) mengguncang Lombok Timur pada Minggu (29/7) pekan lalu.
Nama asli Amak Saleha adalah Sutrahan. Dia menetap di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat,
Di bawah reruntuhan itu tersimpan banyak kenangan Amak Saleha. Rumah itu menjadi saksi bisu perkembangan bahtera rumah tangga yang dibangun bersama sang istri, hingga memiliki lima anak dan dibangun atas jerih payahnya sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat gempa, rumah langsung ambruk dan saya lari, itu bersamaan. Takut ketiban. Sekarang sudah ambruk, mau ambil barang di dalamnya juga susah, banyak puing," kata Amak Saleha kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (1/8).
Lelaki berusia 63 tahun itu tengah duduk di teras rumah ketika tanah berguncang hebat dan turut menggoyang rumahnya. Ia langsung lari dari teras ke bibir jalan di depan rumahnya.
Seketika rumahnya runtuh hampir di semua bagian. Atap rumah langsung ambruk, dinding rontok menjadi puing, dan pilar penyangga patah terbelah.
 Rumah warga Kabupaten Lombok Timur yang hancur akibat gempa bumi pada Minggu pekan lalu. (CNN Indonesia/Yuliyanna Fauzi) |
"Getarannya seperti guntur, bahkan lebih dari guntur, menyeramkan dan cepat," katanya.
Saat itu Amak Saleha panik bukan main. Namun, ia teringat salah satu cucunya yang masih berusia dua tahun tengah tertidur pulas di kamarnya. Seketika, ia langsung menuju bagian belakang rumah. Beruntung, atap di atas tempat tidur cucu berusia dua tahun itu masih cukup kokoh.
"Dia masih tidur, langsung kami masuk lewat belakang dan mengambil dia. Mungkin ini yang namanya anak kecil ibarat nabi, masih suci, masih lindungi," katanya.
Setelah dia meraih cucunya, Amak Saleha langsung menuju ke tepi jalan. Tak berselang lama, ia melihat rumah anaknya juga roboh. Namun, dia melihat anak perempuannya berada di halaman rumah.
Ternyata, salah satu menantunya, Irwan Gusnadi (27) terjebak di dalam rumahnya karena bagian depan rumah runtuh dan menutup jalan keluar. Namun, Irwan selamat dan tak luka karena atap bagian belakang rumahnya terbuat dari besi.
"Saya lihat langsung rumah saya runtuh lalu. Kaget, langsung saya lempar handphone yang masih dipegang, cari jalan keluar, tapi ternyata tidak bisa, pintu belakang tertimbun puing," terang Irwan.
Selang beberapa menit baru ia bisa keluar karena berhasil membongkar puing. Lalu, menuju tepi jalan menemui keluarganya. Tak lama berselang gempa susulan datang. Mereka langsung lari ke tanah lapang tak jauh dari rumah. Semua tetangganya pun turut tumpah ke lapangan, berusaha melindungi diri dari ketakutan gempa.
"Kami diam saja di sana. Banyak warga yang menangis histeris, teriak-teriak ketakutan, karena gempa susulan berulang setiap menit," paparnya.
Selepas sore, barulah gempa mereda dan masyarakat berani kembali ke rumah untuk mengambil selimut dan alas tidur. Beberapa mengambil terpal untuk mendirikan tenda posko. Beberapa di antaranya mengambil bahan makanan dan alat memasak.
Sampai saat ini, Irwan mengatakan keluarganya masih tinggal di posko pengungsian. Paling sesekali istri dan ibu mertuanya pulang untuk berbenah di siang hari. Namun, lepas magrib mereka sudah berlindung di posko. Maklum, hingga hari ketiga masih sering terjadi gempa susulan.
Guncangannya mungkin mereda, tetapi masih menimbulkan kekhawatiran yang sama. "Bahkan sampai tadi subuh sekitar pukul 04.00 WITA, juga ada getaran. Saya memang takut setiap subuh karena seringnya terjadi getaran saat subuh, ketika sedang tertidur," kisahnya.
Meski begitu, Irwan dan Amak Saleha sudah mulai tidur di depan rumah mereka dengan mendirikan tenda sendiri. Irwan mengatakan ini dilakukan untuk berjaga-jaga. Sebab, bencana gempa rupanya menjadi celah bagi pencuri.
"Ada tetangga saya yang kehilangan sapi dan televisi, padahal selamat dari gempa, tapi hilang dicuri orang," ujarnya.
(ayp/gil)